Badan saya langsung bereaksi. Bulu kuduk berdiri. Merinding. Campuran sedih dan khawatir. Ini terjadi saat diajak ikut sebuah pertemuan terbatas beberapa waktu lalu. Melibatkan kalangan akademisi, politisi, pengusaha, pelajar, hingga perwakilan pemerintahan asing.
Setelah puluhan tahun, akhirnya saya nonton film Gundala lagi. Segala nostalgia masa kecil langsung kembali. Perasaan yang begitu indah, membuat saya kembali bernyanyi-nyanyi dan membuat tertawa istri dan teman-teman. Juga melihat betapa film itu punya potensi untuk sekuel.
Belakangan saya merasa kekurangan asupan. Bukan makanan, melainkan “asupan intelektual.” Gara-gara sudah sangat jarang baca buku, dan semakin hari...
Waktu masih kecil, keluarga saya belum punya banyak uang. Saat SD, ibu saya hanya mau membelikan sepatu harga di bawah Rp 20 ribu sepasang. Biasanya merek Kasogi. Kalau tidak salah Rp 17.500 sepasang.
Abah saya penggemar berat, bahkan mungkin tergolong penganut, Pramoedya Ananta Toer. Waktu saya masih SD, saya sudah dicekoki buku-bukunya. Padahal waktu itu masih ilegal peredarannya di Indonesia. Tapi, ayah saya selalu meninggalkan buku-buku Pramoedya Ananta Toer untuk saya baca di rumah. Apalagi waktu saya mulai suka mengetik cerita (beberapa cerpen saya waktu SD pernah dimuat di majalah anak-anak seperti Ananda).