Catatan
Rabuan
Azrul
Ananda

Wow! Penggemar olahraga di seluruh dunia akhirnya dapat tontonan "wajib" di masa tanpa pertandingan ini. Serial dokumenter The Last Dance akan ditayangkan berseri selama lima pekan. Dua episode per pekan, di mulai Minggu, 19 April kemarin. Dan responnya menggila, memecahkan rekor penonton di negeri asalnya, Amrik.

Di negeri yang jadi korban terbesar Covid-19 itu, The Last Dance ditayangkan ESPN. Menurut laporan resmi, dua episode pertama itu (masing-masing 50 menit) ditonton rata-rata 6,1 juta orang. Itu rekor untuk dokumenter olahraga.

Berjuta-juta lagi akan menyaksikannya di seluruh dunia. Karena docuseries ini ikut ditayangkan Netflix, sehari setelah di Amrik. Dua episode awal sejak Senin lalu WIB sudah bisa diakses di saluran streaming itu.

Mengapa begitu heboh? Satu, karena memang tidak ada lagi tontonan olahraga "wajib" di masa pandemi ini. Dua, tentu karena temanya. Ini tentang Michael Jordan dan Chicago Bulls di musim 1997-1998, saat mereka memburu gelar juara NBA keenam dalam delapan tahun.

Salah satu atlet terbaik dalam sejarah olahraga apa pun, dalam salah satu tim paling hebat dalam sejarah olahraga apa pun, saat memburu gelar terakhirnya.

Judulnya pas sekali, The Last Dance. Tarian terakhir. Dan itu bukan dari produser film. Judul itu disiapkan sendiri oleh sang pelatih tim, Phil Jackson, saat pertemuan tim menjelang musim 1997-1998. Kenapa terakhir? Karena mayoritas anggota tim itu kontraknya berakhir di penghujung musim itu.

Berbagai faktor membuat mereka tidak mungkin bersama lagi di musim-musim selanjutnya. Bukan hanya batasan finansial dan usia, tapi juga hubungan personal dan lain sebagainya. Sejarah telah menunjukkan, Jordan sempat pensiun (lagi) setelah musim itu.

Memang, video tentang Jordan dan Bulls sangat mudah didapat. Bagaimana pun, Jordan adalah salah satu sosok paling dikenal di dunia. Legenda basket lain, Magic Johnson, menyebutnya sebagai salah satu dari segelintir "entertainer" terbaik dalam sejarah.

"Michael Jordan, Michael Jackson, dan Beyonce adalah tiga entertainer terbaik dalam sejarah. Mungkin Muhammad Ali juga masuk dalam daftar itu," ucapnya.

Tapi, ini untuk kali pertama cerita di balik layarnya benar-benar ditampilkan. Pada 1997-1998 itu, sempat ada video kru dari NBA yang mengikuti setiap langkah tim. Namun, karena berbagai "ketegangan" dan lain-lain, video-video itu tak terpakai hingga sekarang.

Pada 2016 lalu, Jordan akhirnya sepakat cerita itu ditampilkan. Pihak NBA juga menyetujui. Muncullah The Last Dance, kisah "sesungguhnya" dari Chicago Bulls 1997-1998. Plus kisah perjalanan awal karir Jordan yang selama ini juga belum pernah ditampilkan.

Tentu, ada banyak "rahasia" masih disimpan. Karena semua yang ditampilkan tetap harus disetujui oleh Jordan dan NBA. Namun untuk kali pertama publik umum bisa melihat Jordan yang tidak "dipoles" media zaman itu (zaman belum ada media sosial).


(Foto: Jon Roche/The Last Dance)

Beberapa ceritanya manis. Bagaimana Jordan kecil sang "anak mama" selalu ingin mendapat pengakuan dari sang ayah. Bagaimana Jordan saat kuliah di University of North Carolina sempat mengirim surat ke ibunya, minta kiriman sangu karena uangnya hanya tersisa USD 20.

Ada beberapa yang ngeri, menggambarkan betapa "rusak" atlet era awal 1980-an itu. Jordan sebagai rookie (pendatang baru) terhenyak melihat kamar rekan setimnya berisikan narkoba dan perempuan.

Dan, yang jadi menu utama serial ini: Bagaimana ketegangan terjadi antara para pemain, pelatih, dengan barisan manajemen dan pemilik. Semua ditampilkan seseimbang mungkin, karena semua pada dasarnya punya pertimbangan rasional berdasarkan tugas dan pekerjaan masing-masing. Bahkan walau sebal dengan manajemen, Jordan kepada media mengakui terus terang kalau secara organisasi Bulls memang harus profitable (untung).

Orang-orang top ikut muncul. Termasuk dua mantan presiden Amrik, Barack Obama, dan Bill Clinton. Obama adalah warga Chicago, sedangkan Clinton adalah presiden saat Bulls merajalela itu. Plus, Clinton adalah mantan gubernur Arkansas, negara bagian tempat Scottie Pippen ("Robin"-nya Jordan) berasal.

The Last Dance ini membuat para penggemar Jordan dan Bulls bernostalgia. Mereka yang "senior" jadi lebih mengenal tim idolanya. Mereka yang dulu yang masih kecil jadi lebih mengerti apa yang terjadi. Semua punya cerita tentang Jordan dan Bulls ini, baik dari jauh maupun dekat.

Saya termasuk yang punya cerita "jauh."

Saya penggemar NBA, tapi saya bukan penggemar Jordan. Adik saya penggemar Jordan, dia punya jersey langka bernomor "45." Dulu kado relatif murah, sekarang harganya mahal sekali.

Di semua olahraga, saya memang cenderung lebih suka yang underdog. Di Bulls itu, kesukaan saya adalah Pippen. Kalau yang lain beli sepatu Air Jordan, saya dulu malah beli Air Pippen. Serius.

Pada 1997-1999, saya sempat dikelilingi Jordan, Jordan, dan Jordan. Gara-gara salah satu roommate saya, Roni, begitu mendewakannya. Karena waktu itu masa krisis moneter, kami semua harus bekerja untuk mendukung hobi. Uang Roni habis untuk beli segala hal Jordan.

Semua sepatu Jordan dia punya dua pasang. Satu disimpan atau dipeluk waktu tidur, satu dipakai. Dia memang jago basket, mungkin bisa main profesional kalau di Indonesia. Kalau di Amrik, kerjaannya menantangi anak-anak kulit hitam di kampus dan liga-liga rekreasi (korbannya kita-kita yang tidak jago).

Saya dan teman-teman sering ke pasar loak (flea market), dan Roni berburu barang-barang berbau Jordan. Dia sempat membeli poster pigura Jordan besar, yang harus ditaruh memenuhi belakang mobil. Ini membuat salah satu dari kami nyaris harus masuk bagasi untuk pulang. Untung tidak perlu. Kami masih kreatif, bisa duduk dalam posisi "khusus" di jok belakang.

Kami bercanda, tidak pernah ketemu Jordan aja hebohnya begini. Apalagi kalau ketemu. "Aku rela diludahin, diinjak-injak, dan mencium kakinya kalau ketemu," ucap Roni waktu itu.

Kami sering menertawakan Roni waktu itu. Tapi kalau dipikir sekarang, sialan, koleksinya itu harganya sudah sulit terhitung!

Yap, Jordan memang seperti dewa basket.

Dalam wawancaranya di The Last Dance, Barack Obama mengenang masa-masa emas Jordan di Chicago itu. "Ketika Michael (Jordan) kali pertama datang di sini, saya tidak punya uang untuk beli tiket Bulls. Bahkan yang didiskon. Saya termasuk miskin. Tapi tiba-tiba ada seorang tokoh olahraga yang membuat Chicago terkenal dan mendapat dukungan dari semua orang," katanya.

Mendengar omongan Obama itu, saya jadi ikut menyesal tidak sempat menyaksikan langsung sang dewa beraksi. Tapi mau bagaimana lagi, memang waktu itu tidak punya cukup uang untuk beli tiket, saat Bulls datang ke Sacramento (tempat saya kuliah) untuk bertanding melawan tim favorit saya Kings.

Kalau lawannya tim lain, masih banyak tiket murah 10 dolaran. Walau berdiri di belakang kursi paling atas di Arco Arena. Kalau Bulls yang datang (hanya sekali setahun karena beda wilayah), harganya meroket tidak karuan.

Terus terang, pada 1994 akhir atau 1995 awal saya sempat sekali nonton Bulls. Tapi waktu itu sedang Jordan "pensiun" pertama dan memilih main baseball usai memenangi tiga gelar NBA. Waktu itu pun, walau bintang utamanya "hanya" Pippen, harga tiket Bulls masih minta ampun mahalnya.

Dan harus lewat calo, karena pasti sudah habis sejak awal musim.

Waktu itu belum zaman online. Mau nonton konser aja harus rela antre loket berjam-jam. Mau nonton lawan Bulls? Tiket bisa tiga kali lipat. Pagi sebelum hari pertandingan, kami buka koran, cari iklan baris. Di sana ada yang jualan tiket Bulls. Lalu ditelepon satu-satu. Masih ada tidak. Kalau ada, harus cepat-cepat naik mobil ke rumah orang itu. Pake peta kertas, belum ada Google Map.

Tidak dapat? Bisa ke sekitar stadion. Biasanya ada scalper (calo) nongkrong di McDonald's atau gerai makanan lain tak jauh dari stadion. Ada regulasi ketat soal calo itu. Kalau mau jualan, harus di luar radius sekian km dari stadion. Kalau melanggar, langsung ditangkap polisi. Yang jual maupun yang beli akan ditangkap.

Akhirnya kami dapat dua tiket lewat calo. Seharusnya USD 20 jadi USD 65 per tiket. Nontonnya jauuuh di atas. Tidak apa-apa, yang penting pernah nonton Bulls di era 1990-an. Walau "hanya" Pippen, tidak ada Jordan... (azrul ananda)

 

Comments (9)

Catatan Rabuan

Beli Moment Rp 3,6 Miliar

Marketing yang baik mampu menjual barang yang ada. Marketing yang luar biasa mampu menjual barang yang tidak ada. Dulu s...

Kenapa Chris Paul Layak Juara

Di playoff NBA ini yang paling saya perhatikan adalah Chris Paul, point guard bintang Suns. Saya benar-benar berharap di...

Juara Membangun (Bukan Membeli)

Di sisi lain, dalam proses enam pertandingan itu, saya tumbuh mengapresiasi Milwaukee Bucks. Kotanya. Masyarakatnya. Tim...

Vaksin atau Hilang Gaji

Liga basket paling bergengsi di dunia, NBA, sedang menghadapi tantangan urutan kepentingan tersebut. Tepat menjelang ber...