Catatan
Rabuan
Azrul
Ananda


Foto bersama karyawan dan partner DBL Indonesia di syukuran perayaan 18 tahun DBL Indonesia, 4 Juli 2022.

Waktu benar-benar berjalan cepat ya. Tidak terasa, perusahaan sports management yang saya prakarsai, DBL Indonesia, sudah berusia 18 tahun. Rasanya baru kemarin "penanda lahir" itu diselenggarakan. Yaitu pada 4 Juli 2004, ketika saya dan beberapa perintis lain bertemu dengan puluhan pelatih/pengurus basket SMA se-Jawa Timur, membahas dan menetapkan regulasi liga SMA berkonsep student athlete tersebut.

Empat tahun kemudian, liga DBL itu (sekarang, saking populernya, kami anggap tanpa kepanjangan) mulai ekspansi ke wilayah lain di Indonesia. Dari 11 kota, ke 16 kota, dan kemudian mengembang di tiap provinsi, hingga akhirnya sebelum pandemi mencapai 30 kota dari Aceh sampai Papua.

Target kami adalah terus berkembang ke seluruh provinsi, kemudian terus mengembang di dalam provinsi tersebut. Sambil terus "memancing" gairah basket lokal di masing-masing daerah, supaya semakin banyak lagi kompetisi dan pertandingan di dalamnya.

Sambil jalan, sejak 2008, kami mulai memilihi pemain-pemain SMA terbaik. Awalnya, membentuk tim "All Star" --putra maupun putri-- untuk berangkat ke Australia. Lalu bergeser ke rumah asal basket ke Amerika. Sejak 2010 hingga 2020, kami konsisten menjalankan program kompetisi, camp, serta memberangkatkan All-Star ke Amerika.

Pada 2008, kami menjadi liga pertama di Indonesia yang berkolaborasi dengan NBA, menyelenggarakan event pertama liga paling bergengsi dunia tersebut di Indonesia.

Berbagai kolaborasi internasional lain berlangsung. Saya sampai lupa apa saja. Serta puluhan pemain NBA sudah membantu program kami di Indonesia. Saya sudah lupa siapa saja. Kecuali mungkin Danny Granger (yang pertama pada 2008), serta Kevin Martin, yang pada 2009 datang ke Surabaya sambil membawa neneknya yang begitu baik hati, Maxine. Anak kedua saya bernama Alesi Maxine Ananda. Nama tengahnya terinspirasi dari sang nenek pemain NBA.


Danny Granger ketika hadir di event resmi pertama NBA di Indonesia, hasil kolaborasi dengan DBL. 

Belum lagi upaya kami untuk mendorong pemakaian produk merek Indonesia. Mulai menggunakan bola buatan Indonesia (Proteam) sejak 2005, hingga membuat sepatu basket made in Indonesia yang berkualitas dan terjangkau. Bahkan, salah satu varian terbaru sepatu itu (AD2 hasil kolaborasi DBL dan Ardiles) membantu mencatat sejarah, membantu Indonesia untuk kali pertama meraih medali emas basket putra di SEA Games 2022.


Abraham Damar menggunakan sepatu AD2 ketika bertanding membela Indonesia di SEA Games 2022

Pandemi menghentikan sejenak progres kami. Injak rem keras. Menahan diri dan menata diri. Sambil terus berpikir dan berinovasi supaya ketika pandemi berakhir --dan pasti akan berakhir-- kita bisa melangkah lagi dengan mantap melanjutkan mimpi mengembangkan DBL ini ke semakin banyak wilayah di Indonesia.

Tahun 2021 adalah tahun eksperimen kami. Menyelenggarakan kompetisi di 22 kota praktis tanpa penonton (kecuali hanya di beberapa pertandingan di beberapa kota). Tapi memaksimalkan pengalaman kami menayangkan livestreaming secara internal.

Tidak banyak yang sadar, kalau pada 2010 kami adalah pengelola liga pertama yang mengedepankan livestreaming. Yaitu waktu kami diminta menyelamatkan liga basket profesional, yang waktu itu sempat "mati." Tapi waktu itu, kami mendahului waktu. Orang belum sadar dan siap kalau livestreaming adalah masa depan olahraga.

Tahun ini, kami kembali mengirimkan All Star ke Amerika. Pertengahan Juli ini akhirnya kami memberangkatkan lagi tim putra dan putri ke California. Untuk berlatih serta bertanding di kompetisi untuk anak muda di sana.

Tahun ini, mulai Agustus, kami Insya Allah akan kembali menggulirkan DBL secara lebih meluas. Kembali ke 30 kota di Indonesia. Hanya saja, pandemi memberi kami waktu untuk mengevaluasi strategi pengembangan kami sebelumnya. Memberi kami kesempatan untuk menekan tombol reset, memetakan ulang rencana pengembangan.

Salah satu kalimat bijak yang paling saya sukai bunyinya begini: Tuhan, berilah saya ketenangan untuk menerima hal-hal yang tidak bisa saya ubah, keberanian untuk mengubah hal-hal yang saya bisa, dan kebijaksanaan untuk mengetahui mana yang bisa diubah dan mana yang tidak.

Teman-teman di DBL Indonesia, yang manajemen teratasnya sudah bekerja bersama saya sejak mereka masih berusia belasan tahun, benar-benar berpikir keras untuk memposisikan liga ini lebih baik ke depan.

Jadi, di beberapa provinsi, kompetisinya kami padatkan. Di yang lain, seperti di Jawa Timur, kami putuskan untuk ekspansi. Misalnya, bila selama ini di Jatim hanya di Surabaya (wilayah North) dan Malang (South), sekarang dibagi empat mata angin. Ada tambahan Madiun (West) dan Jember (East).

Kalau tahun ini lancar, maka tahun depan sudah siap untuk melanjutkan lagi impian mengembangkan ke seluruh wilayah Indonesia.

Joko Widodo saat masih sebagai wali kota membuka DBL Jawa Tengah di Solo 2009 (foto kiri). Pada 2018, Presiden RI Jokowi mengundang pemain-pemain DBL bermain basket di Istana Negara Bogor.

Pandemi memang memberi tantangan besar. Tapi pandemi juga bisa memberi peluang besar. Memaksa kami untuk mundur selangkah demi maju dua langkah!

Bukan sekadar kembali menyiapkan liga DBL, dalam acara syukuran sederhana bersama karyawan 4 Juli lalu, kami juga menyinggung tentang rencana pengembangan ke depan.

Syukur Alhamdulillah, ada banyak pihak yang ingin berkolaborasi dengan DBL. Dari berbagai cabang olahraga. Beberapa di antaranya bahkan sudah dalam tahap pembicaraan finalisasi, dan bisa segera dieksekusi tahun ini juga.

Jadi, dalam beberapa pekan ke depan, jangan kaget kalau membaca berita DBL Indonesia meluncurkan sesuatu yang baru. Bagi banyak pihak itu mungkin baru. Tapi bagi tim perintis kami, yang akan kami lakukan itu sebenarnya justru impian pertama sebelum memilih menyelenggarakan basket pada 2004. Itu passion orisinal saya, sesuatu yang saya jalani waktu SMA di Amerika.

Hal baru ini tetap akan melanjutkan visi utama DBL Indonesia. Harus menjadi perusahaan yang bermanfaat untuk anak muda di Indonesia. Itu yang kami tegaskan di kantor. Bahwa ini adalah perusahaan yang bermanfaat, dan sudah terbukti memberi manfaat bagi jutaan anak muda di Indonesia.

Syukur Alhamdulillah "kita sudah tidak dalam fase pandemi" (meminjam kutipan dr Fauci di Amerika). Dunia sudah kembali offline. Sehebat apa pun virtual, tidak ada bandingannya dengan dunia nyata.

Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh peserta dan simpatisan DBL yang terus menyemangati kami di seluruh Indonesia, bahkan di banyak negara. Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh partner DBL yang tidak pernah meredupkan dukungannya kepada impian kami untuk memberi manfaat kepada anak-anak muda di Indonesia.

Delapan belas tahun adalah usia pertama di fase dewasa. Sakitnya remaja sudah dirasakan berkat pandemi. Tapi masa itu seharusnya sudah lewat. Seperti slogan saya setelah meninggalkan jabatan lama pada 2017 lalu: Let Go and Let's Go! (azrul ananda)

Comments (17)

Catatan Rabuan

Simon Mottram Sang Filsuf Jersey

Salah satu yang paling saya kagumi adalah Simon Mottram, founder merek apparel sepeda Rapha yang akhir November ini meng...

Obrigado Ayrton Senna, 25 Tahun Kemudian

Tepat 1 Mei, 25 tahun lalu, salah satu peristiwa terbesar dalam hidup saya terjadi. Peristiwa yang sampai hari ini masih...

15 Tahun Tetap Tanpa Ujung

Tulisan ini seharusnya sudah keluar beberapa hari lalu. Karena pada 4 Juli lalu, ada ulang tahun yang sangat penting. Te...

Sepatu Merdeka

Waktu masih kecil, keluarga saya belum punya banyak uang. Saat SD, ibu saya hanya mau membelikan sepatu harga di bawah R...