Catatan
Rabuan
Azrul
Ananda

Tidak semua tanjakan bisa menjadi tanjakan event. Ada begitu banyak tanjakan indah, menantang, dan fotogenik di negeri kita tercinta ini. Tapi harus selalu ditegaskan: TIDAK SEMUA bisa menjadi tanjakan event. Apalagi menjadi "summit finish", tempat semua berkumpul di akhir acara.

Jangankan di Indonesia. Bahkan di arena Tour de France, Giro d'Italia, dan Vuelta a Espana pun tidak semua tanjakan terbaiknya bisa menjadi finish lomba atau etape!

Sahabat-sahabat sepeda saya sudah paham itu. Jadi, ketika mereka mengajak saya menjajal rute atau tanjakan baru, mereka biasanya sudah punya gambaran kalau tempat tersebut berpotensi "mengetuk hati" saya untuk bikin event di sana. Rata-rata event Mainsepeda berawal dari saya mencoba sendiri rutenya, mencoba "merasakan" potensinya.

Bromo KOM misalnya. Tanjakan ke Wonokitri via Pasuruan, Puspo, dan Tosari itu pada 2012 tergolong "virgin climb". Hanya gara-gara ada sahabat sepeda di sana, penggilannya Wawan, yang membuat saya dan cyclist Surabaya main-main ke sana. Awalnya hanya sampai Puspo (patung sapi). Lalu naik sedikit ke vila keluarga Wawan sedikit di atasnya. Lalu sampai Tosari. Baru kemudian dilanjutkan sampai Wonokitri.


Wawan (kedua dari kiri) saat kami ikut gowes bareng Chris Froome dan Team Sky di Colorado pada 2013.

Belum ada warung, apalagi hotel. Awal event dulu, warga yang membuka pagar rumahnya untuk memberi minum dan makanan ringan.

Ketika sampai Wonokitri, saya terkagum dengan angka pada bike computer saya waktu itu. Jaraknya pas 100 km dari Surabaya sampai Wonokitri. Voila! Muncullah event "Bromo 100" yang berevolusi jadi Bromo KOM! Dimulai pada 2014, Bromo KOM baru saja menjalani event ke-11-nya. Hanya absen sekali saat pandemi.

Sekarang sudah banyak tempat wisata, hotel, dan tempat makan di sepanjang tanjakannya. Sekarang mungkin sudah menjadi tanjakan paling terkenal di Indonesia. Wawan harus dapat penghargaan! Hobinya dulu memberi dampak ekonomi jangka panjang ke kawasan itu!

Kediri Dholo KOM cerita awalnya ada kemiripan.

Kali pertama saya dan teman-teman naik ke Dholo adalah 9 Juli 2016. Pas sembilan tahun lalu bulan ini. Idenya dari Ferry Martalatta Lobis, sahabat Kediri sejak awal "karir sepeda". Ferry selalu mengikuti dan ikut membantu di semua sejarah event kami, dan hampir selalu ikut ketika kami gowes ke luar negeri menjajal rute-rute Tour de France, Giro d'Italia, Vuelta a Espana, dan lain sebagainya

Karena istri saya asli Kediri, saya sering "mudik". Kalau di sana, gowesnya ya sama Ferry. Tapi biasanya mentok ke kaki Gunung Kelud. Pada Juli 2016 itu, Ferry dan pembalap Kediri waktu itu, Dani Lesmana, mengajak menjajal tanjakan baru. "Tidak ada yang pernah ke sana", kata mereka.

Dani dengan bangga waktu itu mengenakan jersey merah, jersey pemenang balapan Jelajah Malaysia yang baru dia dapatkan.

Yang ikut dari Surabaya waktu itu saya, John Boemihardjo, lalu senior kami di dunia sepeda waktu itu, Siswo (Ko Sis) dan Hartono. Start dari Kediri kota, kami menanjak ke Dholo. Tapi waktu itu masih lewat Selopanggung, baru bertemu rute Kediri Dholo KOM di Gerbang Besuki.


Hartono (Paling Kiri), Siswo Wardojo, Azrul, Ferry, dan John di pertigaan Besuki, dengan penanda arah ke Dholo.

Ko Sis dan Hartono "menyerah" di Besuki. Ferry, Dani, John, dan saya lanjut ke atas. Waktu itu belum ada Kelok 9. Hanya sebuah ramp alias tanjakan tembok tajam menyambung ke Gigi 1. Tapi ada jalan "escape" kecil di sebelahnya yang lebih ramah gradiennya. Zaman itu, semua masih memakai rim brake. Gir terbesar di sproket belakang juga masih 11-28.

Dari Gigi 1 ke puncak tanjakan (sekarang dikenal dengan julukan "Jembatan Jomblo") jalannya masih hancur. Aspal pecah. Semi gravel. Dengan ban 23 dan 25 mm kami menanjak hati-hati ke atas.


Azrul Ananda berada di depan gerbang Ironggolo yang 5 Km lagi menuju Dholo. 

Begitu sampai, bingung sendiri. Tidak ada apa-apa sama sekali. Tidak ada warung. Air habis. Tidak ada makanan. Om Edo belum mendirikan Strive, gel merek asing masih tergolong langka (dan mahal). Wkwkwkk.

Ya sudah, kami foto-foto. Waktu itu John dan saya masih memakai prototype sepeda pertama Wdnsdy. Masih belum memutuskan bikin perusahaannya...

Mau tak mau kami harus cepat turun. Karena hanya ada warung di Besuki. Ketemu lagi dengan Ko Sis dan Hartono. Ferry memberi tahu ada lapangan parkir besar sedikit turun dari ujung tanjakan itu. Tapi saya sudah "malas" kalau harus menanjak balik lagi. Apalagi kemiringannya sampai 20 persen. "Lain kali saja", celetuk saya.


John Boemihardjo, Ferry Martalatta, Dani Lesmana, dan Azrul Ananda di ujung tanjakan Dholo pada 9 Juli 2016.

Waktu itu, Ferry sudah mengusulkan supaya bikin event ke situ. "Belum ada yang tahu", tegasnya.

Tidak lama kemudian, kami membuat "tes event". Acara ulang tahun komunitas kami waktu itu, SRBC, diarahkan ke sana. Masih lewat Selopanggung, finish dan bikin acara di lapangan parkir Air Terjun Dholo.

Namun, untuk jadi proper event, saya merasa tanjakan itu belum siap. Jalannya masih rusak, bahaya untuk event besar. 

Beberapa tahun kemudian, baru kami bikin event ke sana. Awalnya event dua hari. Start dari Surabaya, Day 1 adalah gowes ke Kediri sambil mampir dulu ke Pos 1 Gunung Kelud. Baru Day 2 lomba menanjak ke Dholo.

Bedanya, menanjaknya tidak lagi lewat Selopanggung. Melainkan lewat Mojo yang lebih "dramatis" gradiennya. Ada dua alasan kenapa begitu. Pertama, tanjakan Selopanggung berkembang menjadi ramai. Banyak kafe menjamur di kawasan itu. Diiringi dengan ramainya derungan motor-motor melaju kencang melewatinya. Kedua, saya ulangi lagi. Tanjakan lewat Mojo sepanjang 17 km lebih dramatis. Gradiennya lebih "berjenjang". Dari rolling di awal, konstan terjal di kisaran 10-12 persen sampai Besuki, berlanjut ke menu utama menuju finish.


Azrul Ananda ketika melewati tanjakan Kelok 9 yang ikonik. 

Kelok 9 sudah selesai dibangun. Menambah "story telling" tanjakan tersebut. Menjadi "teater alami" bagi peserta yang ingin melewatinya.

Seperti Bromo, tanjakan Dholo juga berevolusi.

Senang melihat pertumbuhannya. Tapi juga degdegan membayangkan masa depannya. Akankah tanjakan-tanjakan legendaris ini bisa terjaga di masa depan? (azrul ananda)

Comments (3)

Catatan Rabuan

Obrigado Ayrton Senna, 25 Tahun Kemudian

Tepat 1 Mei, 25 tahun lalu, salah satu peristiwa terbesar dalam hidup saya terjadi. Peristiwa yang sampai hari ini masih...

15 Tahun Tetap Tanpa Ujung

Tulisan ini seharusnya sudah keluar beberapa hari lalu. Karena pada 4 Juli lalu, ada ulang tahun yang sangat penting. Te...

Sepatu Merdeka

Waktu masih kecil, keluarga saya belum punya banyak uang. Saat SD, ibu saya hanya mau membelikan sepatu harga di bawah R...

Happy Era Streaming

Minggu malam lalu (22 September) benar-benar jadi malam happy bagi penggemar tontonan olahraga seperti saya. Sejak sore...