Pelatih Persebaya Paul Munster (kanan) bersama Azrul Ananda (tengah) yang sedang cosplay Ted Lasso saat Persebaya 97th Anniversary Game, 29 Juni 2024.
Dua atau tiga tahun lalu, di tengah-tengah pandemi, di saat kita semua lebih banyak bengong di rumah, seorang teman baik asal Amerika Serikat memberi saran tontonan. Serial komedi Ted Lasso di Apple TV.
Teman saya ini --waktu itu-- bekerja di Konsulat Jenderal AS dan dia berasal dari Kansas. Bagi yang sudah familiar dengan cerita masa remaja saya, "Kansas" sangatlah familiar. Karena di negara bagian itulah saya dulu bersekolah SMA.
"Kamu harus nonton Ted Lasso. Kamu pasti suka. Dia sangat-sangat Kansas. Dia pelatih sepak bola dan ceritanya di seputar klub sepak bola. Sangat-sangat cocok buat kamu". Kurang lebih begitu ucap teman saya itu.
Entah mengapa, saya baru sempat menontonnya beberapa bulan terakhir ini. Sudah saya tuntaskan semua tiga musimnya, seluruh 34 episodenya. Paling sering menyempatkan nonton sebelum tidur atau saat bengong di pesawat.
Wow! Saya benar-benar terhenyak. Ini katanya serial komedi, tapi saya jadi lebih banyak menangis terharu daripada tertawanya. Kadang malah menangis sambil tertawa bersamaan.
Tiga season-nya menyuguhkan tiga arc cerita yang sempurna. Pertama perkenalan, kesulitan awal, dan perjuangan menuju yang diharapkan. Kedua kekecewaan berat (it's the hope that kills you), tantangan demi tantangan, pengkhianatan. Dan ketiga, redemption. Semua cobaan dan tantangan itu mendapat tebusannya.
Baik pada pribadi Ted Lasso sendiri, baik untuk para karakter utamanya (maupun pendukung), baik untuk klub sepak bola AFC Richmond dan seluruh pendukungnya.
Ending-nya perfect. Tidak perlu lagi ada sekuel. Cukup sampai di sini.
Saya tidak akan membahas detail-detailnya. Karena detail-detailnya begitu istimewa. Anda menonton ulang tiga-empat kali pun belum tentu sadar betapa istimewanya setiap dialog, setiap gesture gerakan, setiap gerakan kamera. Bahkan celetukan kecil di episode terakhir saja ada maknanya, terkait dengan pesan Lasso di musim pertama.
Silakan menikmatinya sendiri, mempelajari setiap detailnya.
Yang ingin saya bahas adalah "The Lasso Way". Khususnya tentang bagaimana Ted Lasso memandang seseorang, melihat situasi. Dia adalah karakter utama serial ini, namanya ada di judul. Tapi, dia bukanlah orang terhebat di serial ini. Dia juga tidak memposisikan dirinya sebagai orang terhebat. Yang dia lakukan adalah berupaya agar semua di sekelilingnya menjadi lebih baik. Kalau semua baik, hasilnya akan baik.
Bagi yang belum menonton, Lasso ini secara mengejutkan dikontrak sebagai pelatih AFC Richmond, sebuah klub sepak bola Premier League di kawasan London. Padahal, dia bukan pelatih sepak bola. Dia hanyalah pelatih American Football di Kansas, dari tingkatan universitas. Football yang berbeda. Sama sekali tidak mengerti "soccer"!
Dia direkrut supaya gagal. Supaya AFC Richmond gagal. Pemiliknya seorang perempuan, Rebecca, yang mendapatkan kepemilikan klub ini dari hasil perceraian dengan suaminya, Rupert. Rebecca awalnya sangat ingin klub ini hancur, karena itu berarti menghancurkan sesuatu yang sangat dicintai suaminya (yang brengsek dan doyan selingkuh). Karena itulah dia merekrut Lasso, supaya AFC Richmond terus ditertawakan dan gagal. Bahkan, di awal-awal, dia terus mencoba mensabotase segala upaya positif Lasso.
Ted Lasso tentu tidak tahu tujuan awal itu. Dia menerima pekerjaan ini karena ingin tantangan baru. Dia sangat mencintai pekerjaan jadi pelatih, olahraga apa pun, dan dia siap menghadapi sesuatu yang baru. Bersama asisten setianya, Coach Beard.
Lasso bukan hanya harus menghadapi bos yang merusak. Dia juga menghadapi barisan pemain yang tidak percaya. Dia juga menghadapi ribuan suporter yang terus mencemooh, menghinanya di segala kesempatan. Baik saat di lapangan maupun saat santai di jalanan.
Namun, Lasso tetap "santai". Dia menghadapi segalanya dengan positif.
Coach Beard dan Ted Lasso dicemooh suporter dalam sebuah pertandingan AFC Richmond.
Teman-teman, gaya Lasso ini sangatlah "Kansas". Ada kutipannya yang membuat saya terhenyak, karena itulah yang diucapkan ayah angkat saya, John Mohn, saat saya kali pertama tinggal di Kansas.
John Mohn bertanya ke saya (usia 16 tahun): "Apakah kamu percaya orang itu ada yang baik dan ada yang jahat?". Tentu saja, saya tidak bisa menjawabnya. Pikiran saya belum sampai ke tataran filosofis.
John lantas memberi wejangan. "Azrul, tidak ada orang yang jahat. Semua orang itu pada dasarnya baik. Tanpa pengecualian. Hanya pendidikan (dan lingkungan) yang membuat mereka jadi baik atau jahat", tuturnya.
Azrul Ananda sempat menjadi pelatih sepak bola SD saat pertukaran pelajar SMA di Ellinwood, Kansas.
Ted Lasso juga seperti itu. Walau dicemooh, bahkan diteriaki, dia tetap tersenyum. Karena dia tahu semua orang pada dasarnya baik. Mereka hanya belum tahu, belum sadar, atau belum paham.
Atau, yang akan jadi kutipan utama di tulisan ini: "Be curious, not judgmental". Dalam hal ini, Lasso mengutip omongan Walt Whitman, seorang penyair Amerika. Bahasa Indonesianya: "Jadilah orang yang penasaran, bukan orang yang menghakimi".
Di musim pertama itu, Lasso sedang berada di titik paling direndahkan. Di sebuah pub/bar, pemilik klub lama Rupert menantangnya bertaruh main dart (melempar panah ke dinding). Kalau Rupert menang, Lasso membiarkannya memilih susunan pemain sampai akhir musim. Kalau Lasso menang, Rupert tak boleh lagi mengganggu AFC Richmond dan mantan istrinya.
Salah satu adegan Ted Lasso bertemu dengan Rupert, mantan suami pemilik AFC Richmond.
Saat adu menembak itulah Lasso menyampaikan monolog indah: "Banyak orang telah meremehkan saya dalam sepanjang hidup saya. Dan bertahun-tahun saya tidak mengerti mengapa. Dulu itu sangat mengganggu saya. Lalu pada suatu hari, saat mengantarkan anak saya sekolah, saya melihat kutipan Walt Whitman di dinding. Bunyinya, 'Be curious, not judgmental'. Saya suka sekali itu".
"Ketika saya kembali ke mobil dan menuju ke kantor, tiba-tiba saya menyadari maknanya. Semua orang yang selalu meremehkan saya, tidak satu pun dari mereka adalah orang yang curious. Mereka merasa sudah tahu segalanya, jadi mereka selalu menghakimi segala sesuatu dan semua orang (judgmental). Dan saya sadar, bahwa saat mereka menghakimi saya, itu tidak ada kaitannya dengan siapa saya yang sebenarnya", lanjutnya.
Saat itu, Lasso menunjukkan ke semua bahwa yang dilakukan Rupert, dan mayoritas orang, adalah menghakiminya tanpa mengenali siapa dia sebenarnya. Bermain dart adalah contoh konkretnya.
Sebelum bertaruh, yang ditanyakan oleh Rupert hanyalah: "Kamu suka main dart?". Yang dijawab sederhana oleh Lasso: "Lumayan".
Di akhir monolognya, Lasso mengingatkan kalau Rupert tetap kurang curious. Kurang penasaran. Kalau dia curious, pertanyaannya seharusnya: "Apakah kamu sering bermain dart?".
Dan jawabannya adalah "Ya!". Lasso bercerita dia selalu main dart bersama ayahnya sejak kecil. Sampai sang ayah meninggal.
Lasso pun melemparkan dart terakhir, pas di tengah! Lasso menang, Rupert kalah. Seandainya Rupert curious, mungkin dia tidak akan berani menantang Lasso bermain dart. Dia berani menantang Lasso karena dari awal sudah langsung menghakiminya, meremehkannya.
(Kalau sempat menonton, dan menontonnya sampai tuntas, ucapan Lasso ini sedikit diingatkan ke kita di akhir. Saat di dalam pesawat, Lassso membiarkan Coach Beard berulah sakit untuk bisa batal terbang. Pramugari yang melihat membiarkan langsung menghakimi Lasso sebagai teman yang buruk. Pramugari itu tidak tidak curious. Dia tidak bertanya, mengapa Lasso membiarkan temannya "sakit"!)
Saya yakin, dalam beberapa pekan ke depan (atau mungkin bulan) saya akan mengulangi terus beberapa episode Ted Lasso. Khususnya dua episode terakhir yang begitu powerful.
Ted Lasso mengajak kita tertawa, mengajak kita menangis, mengajak kita tertawa sambil menangis. Ted Lasso, sang pelatih, mengajak orang-orang di sekelilingnya menjadi lebih baik. Yang semula menolak jadi rekan kerja. Yang semula menghujat jadi sahabat. Yang semula diremehkan menjadi andalan. "Menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri, di dalam maupun di luar lapangan", begitu ucapnya (dan kemudian diulangi oleh Pep Guardiola di akhir seri).
Semua itu berkat filosofi yang begitu sederhana: Be curious, not judgmental! (azrul ananda)
CATATAN TAMBAHAN: Jason Sudeikis, pemeran Ted Lasso, memang dibesarkan di Kansas. Satu lagi yang membuat saya merasa "sepaham" dengan Lasso: Kami sama-sama penganut "romcommunism" alias pecinta film romcom atau romantic comedy. Di salah satu episode, dia mengajak seluruh tim menonton You've Got Mail yang diperankan oleh Tom Hanks dan Meg Ryan (dua aktor favorit saya!). Dia berkomentar, "Ini film bagus, tapi Sleepless In Seattle lebih bagus". Sleepless in Seattle adalah salah satu film favorit saya!.