Catatan
Rabuan
Azrul
Ananda


Dari kiri, Johnny Ray, Azrul Ananda, dan John Boemihardjo sesaat setelah mendarat di Houston.

Akhirnya saya benar-benar traveling lagi ke luar negeri. Setelah lebih dari setahun. Menurut stempel di paspor saya, kali terakhir saya pergi adalah ke Australia pada Januari 2020. Dan ternyata, perjalanan ini terasa lebih praktis dan "mudah" dari dulu-dulu!

Perjalanan saya ini sudah direncanakan sejak akhir 2019. Saat saya dan beberapa sahabat dapat "lotere," diterima boleh ikut Unbound Gravel (Dirty Kanza), ajang balap sepeda gravel 322 km dalam sehari di negara bagian Kansas, Amerika. Seharusnya kami tampil awal Juni 2020, sehingga semua tiket dan persiapan sudah di-book sejak awal 2020.

Sekalian "pulang kampung," mengunjungi ayah dan ibu angkat saya ketika dulu ikut program pertukaran pelajar SMA di Kansas.

Pandemi menerpa. Race itu sempat ditunda lalu di-cancel, diundur hingga 2021. Tiket pesawat dan banyak booking-an lain hangus (sebagian atau total).

Baru Maret 2021 lalu, kepastian event di Kansas muncul. Kami pun siap-siap lagi. Dengan segala dinamika perkembangan pandemi di dunia, yang sangat bisa mengubah lagi segala rencana hingga last minute.

Kami plot berangkat dua minggu lebih sebelum event. Mengantisipasi karantina, seandainya diterapkan. Dalam dua bulan terakhir, kabar karantina atau tidak itu terus dinamis. Bisa tidak karantina, bisa 3-7 hari, atau ada potensi yang lain kalau sesuatu "besar" terjadi. Tergantung pula negara bagian tempat kami akan mendarat.

Karena event kami di Kansas, di tengah-tengah daratan Amerika, kami pun planning landing di tempat paling praktis dari sana. Sebisa mungkin tidak naik pesawat lagi setelah mendarat. Langsung sewa mobil, road trip ke sana.

Houston, negara bagian Texas, jadi tujuan. Naik penerbangan Timur Tengah, menghindari yang transit di kawasan Asia dan yang menyeberangi laut Pasifik. Terbangnya menyeberangi Eropa dan melewati pantai timur Amerika.

Lumayan, dari Jakarta terbang delapan jam. Transit hanya dua jam. Lalu terbang lagi 16 jam sebelum landing di Houston.


Ketika menunggu penerbangan di bandara Soekarno-Hatta menyempatkan podcast mengulas hasil balapan Grand Prix Monaco Formula 1.

 

Kenapa Houston? Satu, karena pada dasarnya "segaris" vertikal dengan Kansas. Naik mobil hanya sekitar sepuluh jam ke utara, melewati kota-kota besar lain seperti Austin, Dallas, lalu menyeberangi negara bagian Oklahoma sebelum masuk ke Kansas.

Dua, jujur, karena punya asumsi lebih simple masuknya. Texas, Oklahoma, dan Kansas semuanya negara bagian yang dipimpin Partai Republik. Yang dalam urusan pandemi ini image-nya lebih cuek dan lebih longgar.

Saat kuliah dulu, memang ada pelajaran untuk tidak boleh berasumsi. Dalam bahasa Inggrisnya "assume," yang bisa dipelesetkan "making an ass out of u and me" alias "malu-maluin kamu dan saya."

Tapi kali ini, malu-maluin tidak apa-apa yang penting bisa masuk lebih mudah. Harapannya begitu.

Sebelum berangkat, kami lebih hati-hati. Sekitar seminggu sebelum berangkat, saya sendiri sudah swab sendiri. Lalu sehari sebelum berangkat swab PCR. Lalu mengisi formulir kesehatan Amerika yang sudah di-download, untuk ditunjukkan ke maskapai dan ketika mendarat.

Semua aman, semua berangkat lancar.

Penerbangan lancar. Lewat tengah malam dari Jakarta, jadi bisa tidur hampir sepanjang delapan jam pertama. Transit dua jam, sempat ngopi dan nyemil. Lalu terbang lagi 16 jam, sebisa mungkin tidak tidur. Karena dijadwalkan mendarat di Houston pukul 16.00. Kalau sebelumnya bisa me-manage keinginan tidur, maka setelah tiba malamnya bisa tidur normal dan menyiasati jet lag. Selisih pas 12 jam antara tengah Amerika dan WIB, yang di Indonesia 12 jam lebih dulu.

Ini zaman online, jadi penerbangan panjang tidak masalah. Banyak film dan serial TV bisa ditonton. Ada wifi, bayar "hanya" 10 USD bisa online sepanjang penerbangan. Koneksinya lumayan cepat. Bisa nonton YouTube juga! Aman.

Sebelum mendarat, degdegan juga. Karena diumumkan memang bisa ada pemeriksaan kesehatan secara acak.

Berdasarkan pengalaman ke Amerika hampir setiap tahun sebelum pandemi, saya selalu menyiapkan waktu dua jam antara landing hingga keluar dari bandara.

Dulu, waktu pasca serangan 9/11 di New York 2001, sempat hampir sepuluh tahun saya selalu harus masuk pemeriksaan imigrasi lanjutan (secondary). Normal untuk pengunjung berusia 16-40 tahun, khususnya laki-laki dari negara mayoritas Islam waktu itu.

Bisa tiga jam antara mendarat hingga keluar bandara. Bukan pemeriksaan berat, biasanya hanya berisikan interviu tambahan dan menjelaskan detail perjalanan. Hanya prosedurnya saja yang lama karena kadang ada antrean lagi di secondary itu.

Sejak pemerintahan Obama, proses ini tidak lagi saya jalani. Sudah imigrasi normal saja. Pun saat pemerintahan Trump. Dan sekarang ternyata masih sama.

Malahan, ini mungkin rekor saya tercepat dari landing hingga keluar bandara. Tidak sampai satu jam.

Keluar dari pesawat, kami berjalan ke antrean imigrasi. Sebelum pandemi, pada dasarnya kita tidak perlu berbicara dengan petugas imigrasi saat mendarat di Amerika. Cukup antre ke puluhan layar monitor. Scan paspor, foto wajah, tekan-tekan pakai touchscreen sedikit, lalu bebas keluar. Hanya kalau ada masalah (atau perlu pemeriksaan tambahan) layar itu meminta Anda menemui petugas imigrasi. Bukan sesuatu yang hebat sih. Indonesia juga ada. Banyak negara juga sama.

Tapi kali ini, kawasan touch screen itu ditutup. Kami harus ikut antrean normal menemu petugas manusia. Antrean yang cukup panjang. Tapi cepat dan lancar. Petugas imigrasinya khas Amerika. Tegas, tanggap, cepat, dan ramah mengarahkan antrean untuk memperlancar gerak antrean. Begitu bagian warga negara selesai, yang pengunjung dengan cepat diarahkan ke antrean itu, mempercepat lagi arus flow imigrasi.

Oleh petugas, paspor saya di-scan, tapi formulir dan data swab hanya dilihat sekilas dan diminggirkan. Dengan ramah, saya ditanya, ada urusan apa ke Amerika. Saya bilang mau ikut balap sepeda. Dia lantas bertanya, di mana? Saya jawab Kansas. Dia tanya lagi, apakah bawa sepeda? Saya bilang iya. Dia tanya lagi, bagaimana membawa sepedanya? Saya jawab sepedanya bisa di-packing di koper khusus.

Dengan ramah, dia bilang selamat datang di Amerika dan selamat mengikuti event-nya. Paspor saya distempel, dan saya dipersilakan lanjut. Saya mengucapkan terima kasih, dia balas dengan "You're welcome," dan saya pun jalan lanjut bergabung dengan teman-teman mengambil bagasi.

Saya dan teman-teman mencari, di mana pemeriksaan kesehatannya. Setelah ambil koper, kami berjalan ke arah keluar. Ada beberapa petugas mengawasi semua yang akan keluar. Beberapa memang dipanggil untuk pemeriksaan acak tambahan. Kami tidak, langsung keluar bandara.

Lancar, cepat, ramah, tidak ada basa-basi.

Kami ke tempat persewaan mobil.

Karena masih belum pukul 18.00, kami punya waktu untuk dinner dulu sebelum ke hotel. Rencananya, malam itu kami menginap dulu di hotel di sekitar bandara Houston. Karena mengantisipasi keluarnya malam dari bandara, atau harus karantina. Tapi ternyata tidak semua.

Ya sudah, kami melanjutkan tradisi lama. Makan dulu ke IHOP. Salah satu tempat makan favorit kami. Dulu saya pernah mengantarkan seorang direktur perusahaan besar di Indonesia di Amerika. Tapi dia tidak mau makan di tempat mewah. Dia ingin saya mengantar merasakan tempat-tempat masyarakat umum Amerika makan. Ya saya bawa saja ke IHOP.

Makan steak T-bone daging lokal, satu paket dengan telur (tiga butir dibuat mata sapi), plus pancake tiga lapis. Minumnya free flow sekenyangnya.

 

Salah satu teman saya, Johnny Ray, yang baru kali ini ke Amerika, heran melihat banyaknya paket makanan ini. Lebih heran lagi melihat harganya. "Hanya" USD 15 untuk satu paket itu. Murah untuk ukuran Amerika, jauh lebih murah dari makan steak di Indonesia. Dan enak sekali sangat mengenyangkan (dan bahkan berlebihan).

Saya menegaskan, makan steak di Texas itu seperti makan pecel di Madiun. Dan steak-nya bisa lebih murah, wong daging lokal... (Azrul Ananda)

Comments (33)

Catatan Rabuan

Masker Akal Sehat

Hidup tanpa masker. Bukan mimpi. Saya sudah merasakannya selama hampir tiga pekan di Amerika. Hebatnya, saya merasa aman...

Angin Kansas

Tahun ini saya kembali lagi ke Kansas. Sebuah negara bagian yang terletak pas di tengah-tengah daratan Amerika Serikat....

Misi Brand Indonesia di Unbound Gravel

Tahun ini kami pergi ke Kansas membawa misi brand Indonesia. Kami semua akan menggunakan sepeda merek Indonesia, mengena...

Kansas Tuntas

Dua kali. Dua kali saya merasa benar-benar takut. Bukan sekadar khawatir, tapi benar-benar takut. Benar-benar takut tida...