Catatan
Rabuan
Azrul
Ananda

"Tenang Mas. Indonesia sudah bukan lagi nomor satu. Kita sudah nomor dua." Begitu tulis seorang teman saya di grup WA. Sambil meng-attach data klasemen penyebaran pandemi di dunia, Senin kemarin (19 Juli).

Tertulis United Kingdom (Inggris Raya) nomor satu dengan 48 ribu lebih kasus baru. Indonesia nomor dua dengan hampir 45 ribu. Sementara India melengkapi "podium" dengan angka lebih dari 38 ribu kasus baru.

Tentu dia menyampaikannya dengan setengah bercanda, bahkan dengan "bau-bau" sarcasm. Karena angka, kalau tidak bisa membacanya dengan jernih, atau menginterpretasikannya secara logis, bisa disalahtafsirkan dan dipermainkan.

Apalagi, saat ini, perang utama pandemi di negara kita sepertinya bukan perang melawan virus itu dan penyebarannya. Ada perang yang lebih bisa bikin frustrasi: Perang melawan pemahaman masyarakat, perang melawan kebijakan-kebijakan yang dibuat berdasarkan pertimbangan sosmed atau politik.

Di saat banyak negara sudah punya road map, kita masih terus berkutat dengan debat kusir.

Beberapa hari ini, perhatian dunia memang tertuju ke Inggris. Saya memberi perhatian khusus ekstra, karena Grand Prix Inggris diselenggarakan di sana akhir pekan lalu (16-18 Juli). Balapan yang penuh drama, karena diterapkannya format baru kualifikasi dan start yang berbumbu kontroversi. Plus, balapan yang jadi "eksperimen" pemerintah Inggris, dengan diizinkannya penonton kapasitas penuh. Lebih dari 110 ribu penonton memadati Sirkuit Silverstone, hampir semua tidak perlu bermasker.

Melanjutkan Wimbledon dan Euro, yang juga seru berpenonton. Dan sejak 19 Juli, Inggris resmi "bebas." Membiarkan warganya bebas tanpa masker, dengan hampir segala aktivitas kembali normal.

Bahwa jumlah infeksi di Inggris mendekati angka 50 ribu, itu sudah diprediksi. Juga diantisipasikan. Bahkan, para ilmuwan di Inggris menyebut pada Agustus nanti jumlah kasus per hari bisa menyentuh angka 200 ribu.

Meski demikian, angka 200 ribu itu bukan lagi angka yang "menakutkan." Karena Inggris sudah melewati fase itu. Karena ketika 68 persen orang dewasa di Inggris sudah divaksinasi (88 persen sudah minimal sekali suntik), maka jumlah 200 ribu itu bukan lagi ancaman mengerikan. Karena yang akan sakit parah, membebani rumah sakit, dan yang meninggal, sudah tidak lagi "spektakuler."

Silakan lihat data Senin lalu itu. Dari 48 ribuan kasus di Inggris, hanya 25 yang meninggal. Data Indonesia, dari 44 ribuan kasus, lebih dari 1.000 yang meninggal.

Saya lalu penasaran dengan angka di Amerika. Angkanya 9.000-an kasus, meninggal 31. Di sana angka vaksinasi sudah mendekati 70 persen. Walau ada lonjakan karena Delta Force, pemerintahnya tetap tenang, tidak ada kebijakan khusus. Bahkan belum merekomendasikan booster vaksin. Hanya beberapa negara bagian, seperti California, yang kembali mengharuskan pemakaian masker di tempat-tempat indoor. Kalau outdoor masih bebas.

Kembali ke Inggris, "disengajanya" pelonggaran aturan sekarang ini juga karena menghitung potensi ke depan. Chief Medical Officer di sana, Prof Chris Whitty, lewat BBC mengatakan bahwa angka kasus pasti akan naik ketika aturan baru dilonggarkan. Itu manusiawi, orang baru merasakan kebebasan. Sekarang tinggal melihat "kesaktian" vaksin dalam membendung jumlah kematian dan beban rumah sakit.

Lebih baik dilonggarkan sekarang, saat musim panas, daripada menunggu saat musim gugur. Apalagi musim dingin. Karena saat cuaca makin dingin, beban kesehatan akan bertambah dengan beban rutin tahunan sakit flu dan virus-virus lain.

Menurut perhitungan Prof Matt Keeling dari University of Warwick, juga via BBC, ketika kasus "memuncak" lagi di tengah musim panas ini, jumlah pasien yang harus ke rumah sakit "hanya" akan mencapai angka 1.000 sampai 2.000 per hari. Bukan beban menakutkan untuk sistem mereka. Sebagai perbandingan, musim dingin lalu jumlahnya mencapai 4.000 sehari!

Senang ya melihat pemerintah yang mengedepankan sains seperti itu. Sejak awal ngebut program vaksin. Sekarang mereka sudah memasuki fase recovery. Road map-nya sudah jelas. Walau masih belum tentu sukses 100 persen, tapi arahnya sudah jelas, jalannya sudah jelas, cahaya di ujung terowongannya sudah terang benderang.

Menyeberang lagi ke Amerika, kampanye vaksin terus digenjot oleh pemerintahnya. Sekarang, Presiden Joe Biden dan jajarannya mengarahkan "serangan" ke perusahaan-perusahaan teknologi, khususnya media sosial. Karena mereka dianggap membantu "membunuh" banyak orang, dengan membiarkan berita-berita hoax dan info-info menyesatkan berkeliaran.

Walau jumlah vaksinasi di Amerika sudah masif, Biden cs masih kerja keras mengkampanyekan untuk lebih cepat lagi. Dr. Anthony Fauci, pimpinan National Institute of Allergy and Infectious Diseases, sekarang sudah menjadi pahlawan di Negeri Paman Sam. Berkat arahannya, dan kepercayaan pemerintah pada sains, Amerika pun terus melangkah mantap meninggalkan pandemi ini.

Fauci baru-baru ini mengeluarkan pernyataan yang tajam pula, via CNN. Dia bilang, seandainya dari dulu media sosial ada, maka kita sampai hari ini mungkin masih berkutat melawan cacar dan polio. "Kita mungkin masih berjuang melawan polio di negara ini kalau begitu banyak informasi salah beredar seperti sekarang ini," ujarnya.

Saat ini, karena "Delta Force," memang ada kenaikan kasus di Amerika. Tapi kalau dipetakan, daerah yang parah jelas. Yaitu Missouri dan Arkansas, dua negara bagian yang angka vaksinasinya termasuk paling rendah di Amerika.

Belajar dari negara-negara itu, memang tidak akan ada jalan lain menuju akhir pandemi ini. Saat ini hanya vaksinasi secepat mungkin, sebanyak mungkin. Karena pada dasarnya, "pandemi"-nya sudah berubah.

Menurut juru bicara Gedung Putih, Jen Psaki, hampir semua orang yang masuk rumah sakit dan meninggal karena virus ini adalah mereka yang belum divaksinasi. "Ini telah berubah menjadi pandemi untuk mereka yang belum divaksinasi," begitu ucapnya.

Pembaca yang rutin mengikuti catatan saya ini mungkin sudah tahu, saya baru-baru ini juga "kena lotere." (Baca: Saya Positif). Saya dan sekelompok teman sepeda bersamaan sempat positif. Dan kalau melihat, kami yang relatif tanpa gejala dan cepat pulih adalah yang sudah divaksin komplet. Yang belum, sembuhnya lebih lama, gejalanya lebih berat, bahkan ada yang harus sampai membutuhkan oksigan beberapa hari di rumah sakit. Semuanya adalah orang-orang yang fit, yang kuat berolahraga. Tapi yang belum vaksin tetap yang lebih parah.

Bagi saya, itu sudah bukti langsung, kuncinya memang vaksin. Ini benar-benar pandemi untuk yang belum divaksin.

Apesnya Indonesia, negara kita ini sedang balapan serius. Adu cepat menyuntik vaksin melawan penyebaran virusnya. Di tengah sistem yang seolah acak aduk, komando yang banyak kepala, dan masyarakat yang seolah lebih pintar beropini daripada masyarakat di negara maju.

Saat ini, penyebaran virus tampaknya merebut pole position, melejit duluan di depan. Butuh upaya dan tekad lebih untuk bisa mengejar, menempel, lalu menyalipnya...(Azrul Ananda)

 

CATATAN TAMBAHAN: Prancis sekarang juga bersikap lebih "keras" pada warganya yang tidak mau divaksin. Dengan mewajibkan vaksinasi sebagai syarat untuk bisa kembali menjalani hidup normal. Karena sebenarnya memang gampang: Yang tidak mau divaksin itu adalah ancaman nasional.

Foto: Eko Suswantoro Harian Disway & AFP 

Comments (41)

Catatan Rabuan

Masa Depan Jabat Tangan

Dunia akan berubah. Secepat apa pun krisis virus ini berhenti, dunia akan berubah. Karena ini sesuatu yang benar-benar b...

Corona Olahraga (Seri 1) - Kreatif Hadapi Krisis

Beberapa mencoba semakin mendorong sisi eSport-nya. Tapi, tidak semua bisa sama. Sebagai penggemar balap, ada dua yang s...

Corona Olahraga (Seri 2) - Terbesar pun Terancam

Bisnis olahraga itu unik. Banyak yang memuja, banyak yang memimpikan. Tapi tidak banyak yang mampu melakukan. Lebih-lebi...

Bumi Bersih-Bersih

Masjid dan gereja non-aktif. Rumah-rumah hiburan dan judi non-aktif. Ada gurauan: Ketika surga dan neraka sama-sama berh...