Catatan
Rabuan
Azrul
Ananda

WDNSDY CAFÉ, Surabaya Town Square, tidak lama setelah ulang tahun saya ke-41. Sore hari. Ada seorang teman sudah menunggu saya di sana, dan beberapa teman dekat lain akan segera menyusul.

Baru saya masuk, belum sempat duduk. Sang teman langsung menunjuk kepalanya sendiri. “Lihat, rambut saya sudah kembali menebal,” katanya cepat.

Teman saya yang satu ini berusia 36 tahun. Belakangan, saya memang sering menyindirnya. Karena kalau melihatnya dari depan, kepalanya mulai kelihatan mengkilap karena rambut yang menipis.

Ternyata, istrinya juga pernah menyindir, tapi dia tidak terlalu mempedulikan. Pengusaha produsen makanan itu baru bereaksi ketika yang menyindir teman-teman seperti saya.

Sambil waktu berjalan, dia bercerita kalau sore hari sekarang istrinya sering melakukan perawatan rambut untuknya. Plus, dalam beberapa pekan terakhir, dia rutin pergi ke klinik rambut.

Untung dia masih rajin olahraga (hobi sepeda seperti saya). Kalau tidak, saya sering menyindir, di usia 40-an seperti saya dia bisa gemuk dan botak.

Dan upaya istri dan rutinitas ke klinik itu membantu membuat rambutnya menebal lagi. Sekarang tinggal rajin olahraga, karena dia pun –seperti saya ketika melewati usia 35 dulu-- semakin sulit menahan laju bertambahnya berat badan.

Tidak lama kemudian. Seorang rekan lain datang. Seorang notaris. Usianya baru saja 40 tahun, walau tampilannya masih kelihatan muda ceria. Saya kira ini efek dari rutinitas olahraga kelompok kami, yang hobi bersepeda keras. Kebanyakan dari kami kelihatan lebih muda dari usia yang sebenarnya.

Walau masih kelihatan muda dan ceria, teman notaris ini pun langsung menyampaikan masalah kesehatan yang berbeda.

Belum sempat duduk lama, dia langsung mengomel soal mata. “Sialan, waktu di tempat tidur, saya membaca di handphone kok tulisannya tidak kelihatan. Ketika handphone saya jauhkan dari mata, justru kelihatan makin jelas. Saya mulai tua, mata sudah plus,” tuturnya disambut tawa yang lain.

Reflek, saya pun mengambil handphone saya. Mencoba membaca dari dekat, lalu menjauhkannya. Alhamdulillah, mata saya belum seperti dia. Walau sebenarnya, sejak remaja mata saya sudah minus 10, he he he.

Kemudian, saya pun mengomel di depan teman-teman itu. “Ya Tuhan, kok lingkunganku sekarang jadi begini ya. Yang diomongkan malah masalah-masalah penanda usia…”

Walau saya mengomel, kami terus bicara seputar proses menua ini. Kami menyadari, kalau fase hidup kami sudah mencapai momen tersebut. “Sadar nggak, kalau kita belakangan makin sering maisong?” kata seorang teman yang lain.

Ya, sekarang memang makin sering menemui teman yang mengalami masalah kesehatan serius. Ada yang meninggal karena jantung, mengalami masalah jantung, atau lain-lain.

Ya Tuhan, kami benar-benar memasuki fase itu. Rasanya baru kemarin saya dan teman-teman lebih banyak bicara soal pacaran dan keasyikan-keasyikan lain. Sekarang sudah bicara ke soal lain.

“Nanti tidak terasa, percakapan kita akan berevolusi lagi. Misalnya, ‘Bagaimana kesehatanmu?’ Atau, ‘Kenal dokter yang jago soal ini tidak?” ucap teman lain lagi.

Ya Tuhan, kami takut membayangkan tibanya masa itu. Tapi kami juga sadar sepenuhnya bahwa waktu tidak akan terasa berlalu, dan kami mencapai fase itu… 

***

Saya dulu bangga karena diberkahi ketahanan fisik tidak rata-rata. Mungkin nurun dari orang tua. Tidak tidur dan bekerja nonstop 64 jam pernah saya jalani. Keliling Indonesia terbang 75 kali dalam 90 hari pernah saya lakukan.

Sekarang pun saya merasa masih lebih aktif dari kebanyakan orang. Masih rutin bersepeda 100 km naik ke gunung, pulang ke rumah sebelum pukul 09.00 pagi, lalu berangkat ke kantor.

Tapi, saya juga menyadari kalau sekarang recovery-nya tidak seperti dulu. Sekarang, setiap kali upaya keras harus ada “balasannya.” Artinya, harus ada istirahat yang dimaksimalkan setelah mengakumulasi kelelahan.

Yang paling sulit, menjaga berat badan. Baru 2-3 tahun lalu, menjaga berat di kisaran 70 kg sangatlah mudah. Sekarang, lepas sedikit makan dan olahraga, angkanya merangkak ke 75 kg. Harus latihan keras dan jaga makan hanya untuk bertahan di bawah 74 kg.

Tapi ini harus terus dilawan.

Saya selalu mengingat ucapan seorang mantan atlet profesional di Amerika Serikat. Bahwa setelah melewati usia 35, badan kita hanya akan melakukan dua hal: Belajar mati atau dipaksa belajar regenerasi. Semakin kita aktif, semakin sel-sel badan kita dipaksa terus “hidup” dan regenerasi. Semakin kita pasif, semakin cepat badan kita “mati.”

Tidak lama sebelum menulis Happy Wednesdayini, saya mendapat “petuah” yang sangat quotable dari seseorang. Kejadiannya di sebuah McDonald’s di perbatasan Surabaya dan Sidoarjo. Pagi itu saya baru saja selesai bersepeda lebih dari 90 km, sedang mencuci muka di wastafel.

Seorang laki-laki yang berdiri (mencuci tangan) di sebelah saya bertanya: “Kamu usia berapa?” Saya pun menjawab: “41.”

Dia melihat saya sedang pakai jersey dan bib short sepeda, lantas memuji olahraga yang saya lakukan. Dia menyampaikan kalau dia pun menjaga dirinya untuk aktif. Dan saya agak terkejut ketika dia menyampaikan usianya. “Usia saya sudah 71 tahun,” akunya.

Dalam percakapan singkat dan santai, dia menyampaikan kalau sebelumnya dia rajin jalan kaki. Semakin berusia, dia mencari alternatif “olahraga.” Sekarang, aktivitas yang dia anggap berguna adalah mencuci mobil di pagi hari. Badannya terus bergerak, airnya menyegarkan, dan kemudian mendapatkan rasa puas bahagia melihat hasil kerja: Berupa mobil yang sangat bersih.

Intinya, tegas dia: “Teruslah aktif.”

        

Saya tidak sempat menanyakan namanya, atau apa pekerjaannya, atau yang lain-lain lagi. Dia juga tidak banyak tanya-tanya pada saya. Tapi ada satu kalimat yang dia ucapkan, yang sangat layak dikutip semua orang, dan layak menjadi ending kunci dari tulisan ini.

Dia bilang: “Sekarang jagalah kesehatan, karena di hari tua ganti kesehatan yang akan menjaga kita.” (*)

Comments (4)

Catatan Rabuan

Vaksin untuk Ayah

Ada perasaan lega saya rasakan pada Sabtu, 26 Desember lalu. Hari itu, saya sekeluarga bisa video call dengan ayah dan i...

Terlambat Tiga Tahun

Gemetar rasanya. Pesan itu ternyata sudah dikirim hampir tiga tahun lalu. Baru pekan lalu saya mengetahuinya. Secara keb...

Schadenfreude Anda Level Apa?

Belakangan saya merasa kekurangan asupan. Bukan makanan, melainkan “asupan intelektual.” Gara-gara sudah sangat jarang b...

Menunda Hepi, Melawan Boring

Ah, betapa sulitnya menulis kolom Happy Wednesday di tengah situasi global seperti ini. Di saat semua orang (seharusnya)...