Catatan
Rabuan
Azrul
Ananda

Yang kuliah jurusan marketing seharusnya belajar soal ini: Berapa kali dalam sehari kita terekspose iklan. Waktu zaman saya kuliah, mid sampai akhir 1990-an, angkanya sudah mencengangkan. Sehari kita bisa melihat hingga 1.500 iklan. Baik di TV, media cetak, atau reklame outdoor

Pada 2000-an, angkanya disebut melonjak banyak lagi. Bisa sampai 5.000 per hari. Sekarang? Lebih gila lagi. Katanya sampai 6.000 sampai 10 ribu iklan SETIAP HARI. Ini tentu karena media sosial yang mendominasi, di mana setiap orang adalah medianya sendiri dan pada dasarnya semua pihak beriklan di media sosial masing-masing.

Banyaknya iklan itu tentu memberi tantangan bagi yang melihatnya. Semakin banyak yang berebut perhatian, semakin sulit untuk lekat ke ingatan. Semakin sulit lagi untuk membuat yang melihat melakukan "eksekusi" untuk memenuhi tujuan iklan itu.

Terus terang saya tiba-tiba jadi ingat soal jumlah iklan ini gara-gara yang terjadi belakangan.

Pandemi tentu punya efek ke ekonomi. Setiap kali ekonomi tertekan, iklan biasanya ikut ngedrop. Tidak lama lalu, papan-papan reklame di jalan banyak yang kosong. Kecuali belakangan... 

Mata kita sekarang sudah langsung diberi pilihan-pilihan untuk 2024. Di satu sisi masih jauh, di sisi lain sebenarnya juga sudah dekat. Entah mengapa, walau termasuk menganggap masih jauh, saya kok jadi degdegan ya.

Mungkin karena begitu melihat pilihan-pilihan itu, saya merasakan sesuatu yang beda dengan tahun-tahun dulu. Sekarang, entah mengapa, saya jadi memikirkan masa depan anak-anak saya.

Serius.

Generasi saya sudah tidak punya pilihan. Sudah harus siap struggle dengan situasi yang sekarang, dan dampaknya dalam beberapa tahun ke depan. Gara-gara pandemi ini, dan segala konsekuensinya, buyar sudah mimpi saya untuk pensiun usia 45 dan traveling keliling dunia (wkwkwkwk). Minimal harus mundur beberapa tahun.

Generasi yang lebih tua dari saya situasinya sama. Generasi yang tak jauh lebih muda dari saya mungkin juga sama. Ya menjalani hidup konsekuensi dari sekarang, konsekuensi dari pilihan-pilihan dalam sepuluh tahun terakhir.

Percuma ngomel. Percuma protes.

Seperti kata George Carlin, komedian favorit saya. Kalau dulu ikut memilih, maka tidak boleh protes. Karena sudah ikut berpartisipasi. Seorang teman dekat saya di Jakarta, lulusan ilmu politik di sebuah universitas besar di Amerika, baru-baru ini mengingatkan saya --dan teman-teman dekat lain-- tentang omongan Carlin itu.

Yang saya pikirkan adalah generasi anak-anak saya, generasi yang dalam sepuluh tahun terakhir, dan minimal lima tahun ke depan, tidak bisa ikut berpartisipasi dalam memilih.

Karena mereka harus menghadapi masa depan yang bukan salah mereka. Yang jadi konsekuensi dari pilihan-pilihan orang tuanya, atau generasi seniornya. Di masa depan, mereka bisa memandang ke belakang, membodoh-bodohkan pilihan-pilihan kita, menyalah-nyalahkan pilihan kita, yang membuat hidup mereka kelak jadi tidak enak.

Padahal, generasi kita mungkin juga tidak bisa disalahkan. Karena memang tidak diberikan pilihan-pilihan yang baik untuk generasi masa depan. Kalau ujian multiple choice, dan pilihannya hanya A, B, C, atau D. Kita kan tidak boleh menjawab E, F, atau seterusnya.

Bukan hanya itu, pilihan-pilihan masyarakat sekarang belum tentu didasari kebutuhan masa depan. Apalagi setelah pandemi ini, yang mungkin akan punya dampak lebih panjang terkait ekonomi dan kesejahteraan.

Sedih melihat sekarang. Kembali ada banyak pengemis di jalan. Kembali ada banyak pengamen di jalan. Kembali ada banyak orang kehilangan pekerjaan, atau penghasilannya tidak bisa segera kembali seperti sebelumnya. Masalahnya, yang mau berbuat lebih pun sekarang banyak yang juga sulit berbuat. 

Kasihan ya generasi masa depan.

Saya benar-benar degdegan menatap masa depan. Degdegan untuk masa depan anak-anak saya kelak. Ujiannya memang masih beberapa tahun lagi. Tapi ujiannya masih akan multiple choice. Masih hanya akan ditentukan A, B, C, atau D. Atau malah hanya A atau B.

Dan yang masuk jadi pilihan belum tentu muncul karena dia yang terbaik. Belum tentu karena dialah yang akan membawa masa depan lebih baik untuk anak-anak kita nanti. Bisa jadi, pilihannya adalah karena tidak ada yang lain. Atau, yang menakutkan, kita harus memilih the best from the worst

Waktu saya SMP dulu, ada seorang guru "killer." Kalau nilai ulangan jelek, maka di kertas itu dia akan menuliskan besar: MADESU. Itukah kita? (Azrul Ananda)

Comments (43)

Catatan Rabuan

Baik atau Senang

Membuat keputusan. Alangkah mengerikannya. Apalagi kalau menyangkut nasib orang banyak. Apalagi kalau tidak banyak ora...

Presiden Milenial (Asli)

Sekarang ini, ngomongin soal milenial itu seperti penting banget. Kalau pergi ke forum marketing, temanya bagaimana mena...

Wali Kota Bukan untuk Saya

Saya bersyukur. Saya ini manusia beruntung. Pada 2009, saya mendapat undangan spesial dari pemerintah Australia. Sakin...

Menghina Presiden

Ada satu kategori merchandise yang sepertinya populer dijual di tempat-tempat wisata kondang di Amerika Serikat. Baik it...