Catatan
Rabuan
Azrul
Ananda

Terus terang, saya kagum dengan toilet di Tiongkok sekarang. Paling tidak di Beijing dan Shanghai, dua kota utamanya. Langit dan bumi dengan kali pertama saya ke Tiongkok hampir 20 tahun lalu. Orang boleh menilai negara ini dari aspek mana pun. Tapi bagi saya, toilet Tiongkok lah yang menegaskan bahwa kita semua wajib belajar bahasa Mandarin, karena inilah negara dan bahasa masa depan (dalam waktu dekat).

Keluarga besar kami memang ke Tiongkok semua saat liburan pergantian 2023-2024. Liburan keluarga besar pertama sejak tahun baru 2020, sebelum pandemi dimulai.

Awalnya keluarga saya punya jadwal beda dengan keluarga adik. Semua berubah ketika Abah bilang: "Semua ke Tiongkok". Kita semua bertemu di Beijing dari jalur beda-beda. Adik saya dari Indonesia karena anak-anaknya masih jadwal tanding basket sebelum libur. Abah dan Ibu dari Hongkong karena ada urusan dulu di sana. Keluarga saya justru ke Korea dulu sekalian menjemput dua putri saya, Alesi dan Andretti, yang pertukaran pelajar di Busan.

Saya tidak akan menulis liburannya, karena Abah sudah menulisnya beberapa seri di Disway.id (klik di sini). Yang jelas, kami sekeluarga tidak keberatan juga ke Tiongkok. Satu, cucu-cucu pasti tetap senang karena ada Universal Studios di Beijing dan Disney di Shanghai. Dua, kami penasaran juga ada lompatan apa lagi di Tiongkok, setelah beberapa tahun tidak ke sana.

Abah saya itu seperti sudah Tiongkok banget, jadi dia punya persepsi "orang dalam" tentang segala perkembangan di sana. Sedangkan keluarga kami punya persepsi "in and out". Sering ke sana, tapi tak pernah lama.

Nah, punya persepsi "in and out" itu seru. Karena kita bisa merasakan perubahan setiap kali ke sana. Apalagi kalau negaranya seperti Tiongkok, yang perkembangannya seolah-olah melompat-lompat tidak karuan.

Hanya beberapa tahun tidak ke sana, semuanya seolah sudah beda. Seperti ke beda negara. Mayoritas merek mobil sudah tidak kenal, dan bagus-bagus semua. Khususnya yang EV (listrik).

Ada teman Indonesia yang bilang, mobil Tiongkok itu sudah luar biasa kualitasnya dan harganya murah. Dia memang sering ke sana dan punya mobil di sana. Jangan tanya merek apa saja, karena saya belum bisa membaca tulisannya wkwkwk...

"Murah-murah dan nggilani regoe (edan harganya, Red). Jarak tempuh 1.300 km hanya Rp 600 juta. Ciamik built quality-nya. Serasa naik BMW, Mercedes, Audi, Tesla. Sepuluh sampai 15 tahun lagi agak susah lihat mobil konvensional di Tiongkok", ucapnya sambil mengirimkan foto mobilnya, sebuah SUV EV merek "WEY".

Lebih hebat lagi biaya mengisinya. Fast charger ada di mana-mana, cukup bayar setara Rp 60 ribu untuk mengisi hingga 500 km. "Berarti satu kilometer biayanya hanya Rp 120", tambahnya.

Mobil listrik Ioniq keluarga saya di Jakarta, rasanya masih bayar Rp 175 ribu untuk mengisi penuh. Jadi itu pun sudah terasa ketinggalan zaman! Teman saya tadi bilang 10-15 tahun. Saya merasa tidak akan sampai selama itu...

Saat di Tiongkok ini, Abah juga mengajak kami untuk benar-benar merasakan perubahan. Misalnya, naik kereta cepat dari Beijing ke Shanghai. Kecepatan kereta tercatat mencapai 347 km/jam dan konstan di kisaran itu. Jarak tempuh 1.200 km lebih dicapai dalam waktu sekitar 4,5 jam.

Sebagai perbandingan, kalau kereta ini ada di Indonesia menghubungkan Jakarta dan Surabaya, perjalanan bisa ditempuh dalam waktu tak sampai 3 jam. Lebih cepat dan praktis dari pada naik pesawat (kalau dihitung waktu ke bandara, menunggu boarding, proses landing, menunggu bagasi, dan lain-lain).

Dan karena terus di "darat", badan tidak capek. Ditambah ada wifi dan colokan USB, kita bisa "bekerja" selama di dalam kereta.

Dulu, saat masih menemani Abah menunggu transplantasi liver di Tianjin, saya dan keluarga sering naik kereta ke Beijing. Pada 2007, butuh waktu satu jam. Sebelum 2010, perjalanan yang sama hanya 30 menit. Itu lompatan "kecil" penanda masa depan.

Dulu, saat kali pertama ke Shanghai liputan Formula 1 tahun 2004, saya senang luar biasa bisa naik kereta Maglev dari bandara ke kota. Sekarang, Maglev masih ada tapi mungkin seperti kereta prasejarah.

Stasiunnya pun supermegah, lebih megah dari bandara.

Kebersihan? Nah ini dia poin utama tulisan saya.

Kereta cepat Beijing-Shanghai itu toiletnya bersih banget. Masih ada toilet jongkok dan toilet duduk sebagai pilihan, tapi sudah modern banget dan bersih. Wastafelnya di luar, dan disediakan sabun cair serta kertas tisu. Gerbongnya juga kinclong. Bagaimana tidak, setiap jam ada yang lewat mengepel lantainya. Cepat dan efisien tanpa mengganggu penumpang.



Toilet umum di luar juga membuat saya kagum.

Disclaimer: Persepsi kebersihan setiap orang beda. Saya membandingkan toilet sekarang ini dengan pengalaman 20 tahun terakhir rutin ke Tiongkok. Jadi yang saya kagumi adalah proses perjalanan perkembangannya. Bukan hasil terakhirnya. Karena hasil terakhir itu ke depan saya yakin akan terus membaik.

Dulu, kalau mau ke toilet yang proper, harus lari ke hotel berbintang atau mal yang mewah. Karena mal biasa pun toiletnya masih "khas".

Sekarang, tidak perlu pusing. Toilet umum di taman, di tempat-tempat publik, di stasiun subway, sudah proper semua. Wastafelnya sudah ada sabun semua. Sudah bersih semua. Sudah modern semua. Paling tidak yang saya rasakan di Beijing dan Shanghai.

Bahkan ada satu tempat di stasiun subway di Shanghai, di depan toiletnya ada layar monitor. Memberi informasi, ada berapa bilik yang kosong, dan bilik yang mana yang bisa digunakan. Jadi, kalau penuh, tidak perlu masuk ke dalam.

Hanya sekali, di salah satu stasiun subway di Beijing, saya keluar tertawa-tawa. Saya bilang ke Abah: "Akhirnya saya nostalgia lagi dengan bau khas toilet Tiongkok".

Tapi hanya sekali itu saja!

Malah, saya berani bilang, toilet umum di Beijing dan Shanghai jauh lebih baik dari yang di Amerika! Yang di kota-kota besar Amerika, dari persepsi "in and out" saya, makin lama makin merosot. "Amerika kalah. Amerika sudah kalah." Berkali-kali saya mengucapkan itu. Pada diri sendiri maupun kepada teman-teman. Khususnya yang sama-sama alumnus Amerika.

Soal toilet ini, saya berdiskusi dengan Abah. Saya menganggap, kebersihan --khususnya toilet-- itu adalah penanda kemajuan peradaban. Dan ada level-levelnya.

Level kebersihan di Tiongkok ini sudah di level "rajin membersihkan". Tandanya, sudah ada manajemen kebersihan yang berhasil dijalankan sampai level terendah. Dalam skala besar. Belum semua masyarakatnya tertib kebersihan, tapi pemerintahnya punya program yang membuat kebersihan terus terjaga.

Ini sudah melompat dari level zaman saya pertama ke Tiongkok. Waktu itu, pemandangan anak-anak dibiarkan buang air di trotoar atau tempat umum masih ada. Bahkan pernah di sebuah pusat perbelanjaan, ada ibu-ibu menenteng anak balitanya keluar dari tokonya, lalu membiarkan anaknya "bocor" di depan tokonya. Setelah selesai masuk lagi ke dalam toko. Ini di dalam pusat perbelanjaan, di atas lantai keramik di dalamnya!

Setelah itu ada level menstandarkan fasilitas toilet, dan sekarang level membersihkan toilet secara proper, secara massive. Sampai ke toilet-toilet umum di pinggir jalan, di taman-taman, di stasiun-stasiun.

Kalau pembaca masih bingung membandingkan. Toilet di taman kota Beijing dan Shanghai itu bisa dibilang setara kebersihannya dengan toilet di Bandara Soekarno-Hatta dan Juanda.

Level tertinggi, menurut saya, hanya saya temui di Jepang. Teman-teman yang pernah ke Jepang pasti setuju pendapat saya ini. Di sana, level kebersihannya sudah "mak rifat". Sudah di atas level "rajin membersihkan". Sudah pada level "tidak mengotori". Tandanya, dari setiap individunya sudah memastikan kebersihan terjaga, sehingga tidak perlu ada orang lain untuk membersihkan.

Soal kebersihan toilet, Jepang memang masih juara dunia. Tapi mungkin menangnya hanya tinggal dalam hal toilet saja. Itu pun di masa depan bisa dikejar. Lompatan dan lonjakan peradaban dan masyarakat di Tiongkok? Ini sulit membayangkan ada yang bisa mengejar... (azrul ananda)

Comments (14)

Catatan Rabuan

Ilmu Presenter Memancing Ikan

Memancing ikan atau presenter? Ya, tulisan ini memang akan mengawinkan dua topik yang jauh berbeda. Di satu sisi soal...

Mudik Mobile Chicane

Saat libur Lebaran, saya biasanya tidak ke mana-mana. Menikmati ketenangan Kota Surabaya. Kalau pun “mudik,” hanya seben...

Senangnya Dirampok di Kereta

Saat ke Amerika, saya paling suka kembali ke tempat yang familiar. “Pulang kampung” ke Kansas tempat dulu SMA, atau ke S...

Kangen Kedinginan

Hidup memang belum normal. Akhir Januari ini bisa jadi penanda khusus hidup saya. Untuk kali pertama entah sejak kapan,...