Catatan
Rabuan
Azrul
Ananda

Yap. Tergila-gila K-Pop.

Yap. Tergila-gila BlackPink.

Bukan, bukan saya. Anak-anak saya yang begitu. Khususnya dua anak cewek saya: Alesi, 9, dan Andretti, 8. Bukan hanya BlackPink, mereka lagi getol-getolnya nonton K-Pop di YouTube (ini generasi yang sudah nggak pengin nonton TV biasa).

Sekali lagi saya tegaskan: Bukan saya. Soal selera musik, saya ini termasuk yang stuck di era 1990-an. Band favorit akan tetap Tool selamanya. Kalau soal penyanyi cewek cakep (seksi), saya termasuk Britney Spears forever. Wkwkwk

Kalau pun Asia, generasi saya masih generasi J-Pop. Seperti sudah ditulis di Happy Wednesday 2, sudah 20 tahun ini saya “cinta” Namie Amuro.

Kalau disuruh nonton K-Pop, jujur saya bingung membedakan satu grup dengan yang lain. Semua sama. Wkwkwk

Disuruh nonton BlackPink? Wah malah bisa kikuk.

Untuk yang sudah “dewasa” dan berkeluarga seperti kita-kita ini, prinsip omongan Seinfeld harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Ketika ada melihat perempuan cantik atau seksi, kita harus bisa cepat.

“Melihat (perempuan seksi) itu seperti menatap matahari. Jangan menatap terlalu lama. Terlalu berisiko. Cukup mendapatkan kesan lalu cepat-cepat memalingkan pandangan,” begitu celetuk Jerry Seinfeld dalam salah satu episode sitkom legendarisnya.

Anyway, anak-anak perempuan saya sedang kecanduan BlackPink.

Alesi ngefans sama Jisoo, Andretti suka Jennie.

Gara-gara mereka, iPad yang biasa saya pakai untuk aplikasi Zwift dan Trainerroad saat bersepeda indoor, sering menjadi “matahari.” Ketika dinyalakan, yang pertama nongol justru gambar atau video BlackPink.

Apalagi baru-baru ini BlackPink merilis klip video baru Kill This Love, yang dalam tiga hari viewer-nya di YouTube langsung tembus 115 juta. Hadeeeeh, ya pastilah itu yang paling sering mereka tonton.

Istri saya sampai agak bingung. Dibiarin, dilarang, atau harus super rajin mengawasi.

Ketika ditanya soal itu, saya sih menjawabnya enteng saja. Ya sudah biarin saja.

Saya ingin adil kepada anak-anak saya. Waktu saya kecil dulu, ayah saya praktis membiarkan saya menyukai apa saja.

Suka sepak bola sampai tidak mau sekolah? Biarkan saja. “Banyak orang dapat uang banyak main sepak bola. Yang penting serius,” katanya.

Suka buku dan komik? Saya dibiarkan beli sebanyak mungkin bacaan. Supaya murah, waktu kecil saya sering dikasih uang Rp 10 ribu, lalu disuruh beli bacaan sebanyak-banyaknya di Jalan Semarang di Surabaya (jalan yang dulu pusat penjualan buku bekas).

Pokoknya suka apa saja, biarkan sampai mentok. Kalau bosan akan bosan sendiri. Kalau suka dan serius, mungkin bisa jadi sesuatu. Yang penting serius.

Dan ini dibiarkan sampai remaja dan kuliah. Saat saya suka gonta-ganti warna rambut, gonta-ganti warna lensa kontak, tindik telinga, juga dibiarkan. Ketika ibu saya mengomel, Abah paling bilang: “Biarkan saja. Dia sedang fase itu. Nanti akan ketemu batasannya sendiri. Paling nanti juga berubah lagi.”

Bahwa Alesi bisa hafal begitu banyak bintang K-Pop, lalu bisa cerita detail masing-masing, itu sesuatu yang baik.

Saya yakin, istri saya akan memberi pagar. Tapi jangan sampai pagarnya jadi terlalu tinggi, membatasi keinginan untuk berkembang. Saya tegaskan ke istri: “Biarkan saja. Lebih baik begini daripada tidak punya hobi sama sekali.”

Karena orang tanpa minat dan hobi adalah orang yang boring sekali… 

 

via GIPHY

Comments (3)

Catatan Rabuan

Welcome To Happy Wednesday 2.0

Sudah lebih dari setahun saya tidak menulis Happy Wednesday, sebuah kolom hari Rabu di mana saya bisa menulis sesuka hat...

20 Tahun Cinta Namie Amuro

Entah ini tulisan sudah terlambat 20 tahun, atau mungkin hanya terlambat setengah tahun. Yang jelas ini dekat dengan mom...

Shazam dan Tom Hanks

Maklum, sudah lama tidak pacaran. Sabtu malam lalu (30 Maret), istri saya seret pergi ke bioskop. Nonton Midnight. Tapi,...

Buktikan Jempolmu

Terima kasih media sosial. Cukup lewat jempol, segala frustrasi, kemarahan, isi kepala, bisa kita luapkan tanpa harus be...