Catatan
Rabuan
Azrul
Ananda

Saya benar-benar jadi minoritas di rumah. Pada dasarnya, saya hanya punya kendali di ruang hobi/kerja saja. Mau nonton apa saja, mendengarkan apa saja, hanya bisa di sana. Semua ruangan lain sudah tidak terkendali, di bawah kekuasaan istri dan anak.

Khususnya dalam hal musik yang didengar.

Praktis, hanya di dalam ruang hobi/kerja itu musik-musik rock alternatif lama bergaung. Di 90 persen bagian lain rumah, adalah wilayah jajahan Blackpink dan BTS.

Kalau BTS, jujur saya malas ikut menonton. He he he. Tapi kalau pas Blackpink, ya mau-mau saja. Teman-teman sebaya saya sepertinya juga sama. Belakangan saya makin paham kalau banyak teman seumuran diam-diam adalah penggemar Lisa Blackpink.

Tidak ada yang blakblakan mengaku demikian. Tapi itu benar.

Baru-baru ini, saat tidak punya kendali remote control TV, mau tidak mau saya menonton bersama istri dan anak-anak. Menonton "dokumenter" di Netflix, berjudul Blackpink: Light Up The Sky.

Padahal ada acara musik lain yang pengin saya tonton. Yaitu Song Exploder, sebuah serial berbasis podcast tentang bagaimana lagu-lagu hebat diciptakan. Saya khususnya ingin menonton episode tentang bagaimana grup musik R.E.M. menciptakan lagu legendarisnya: Losing My Religion.

Tapi ya sudahlah. Lumayan. Minimal tidak nonton film horor atau kartun.

Jujur, "dokumenter" Blackpink itu memang menambah respect saya pada Lisa, Jisoo, Rose, dan Jennie. Ya, mereka memang "diciptakan," dibentuk, dan dilatih selama bertahun-tahun. Tapi bagaimana pun itu semua butuh pengorbanan.

Mereka harus meninggalkan sekolah. Meninggalkan keluarga. Bersaing secara superkompetitif melawan calon-calon bintang lain. Itu hanya untuk mengambil langkah pertama ke atas panggung. Setelah itu, tetap harus membuktikan diri di atas panggung. Bekerja keras, menghabiskan hari-hari untuk menunjukkan diri kepada dunia bahwa mereka memang layak di atas.

Cantik atau tidak. Berbakat atau tidak. Tetap harus bekerja keras. Tetap harus menjalani proses panjang. Tetap harus selamat dari seleksi alam.

Memang, dokumenter itu terjaga keceriaannya. Tidak ada konflik besar. Tidak ada yang benar-benar di balik layar.

Namun, ada satu bagian yang membuat saya suka. Bagian paling akhir. Saat mereka berempat duduk di sebuah restoran. Bicara soal masa depan.

Mereka saling bertanya, kira-kira bicara bagaimana hidup setelah era Blackpink ini. Ada yang ingin tinggal di Paris, ada yang ingin di Amerika, ada yang pada dasarnya ingin keliling dunia.

Lalu mereka menyinggung apa yang akan terjadi 20 tahun lagi. Saat mereka semua sudah melewati usia 40 tahun. "Apakah pada saat itu kita semua sudah akan menikah?" tanya Jennie. Jawabannya banyak yang iya. Belum tentu punya anak, tapi menikah.

Lalu ada yang bertanya lagi, apakah mereka akan melakukan comeback di usia 40-an itu? Tentu timpalannya adalah tawa. "Rasanya kita semua bakal cedera punggung!" celetuk (sepertinya) Lisa. "Saya kira kita semua sudah tidak akan bisa dance," tambah Jisoo.

Ending ini memang sangat sederhana. Yang membuat saya senang: Dengan ending itu, dokumenter ini menggunakan struktur bertutur yang paling saya sukai.

Sebagai orang yang sejak kecil bersinggungan dengan dunia media, dan kemudian belasan tahun berkecimpung di dunia itu, pelajaran paling basic yang didapat seorang jurnalis adalah 5W 1H.

Kalau ingin cerita lengkap dan memuaskan, harus ada elemen Who, What, When, Where, Why, ditambah How.

Sampai hari ini, saya kira masih banyak pengajar atau senior jurnalis yang selalu menekankan pelajaran paling mendasar ini.

Kebetulan, saya sejak muda --waktu membantu ayah angkat bekerja di korannya di Kansas, lalu saat rajin mengikuti perkembangan media di AS-- dicekoki dengan fundamental yang agak beda.

Bukan 5W 1H. Melainkan 6W 1H.

"W" yang keenam adalah "What's Next."

Sebuah tulisan/liputan yang bagus bisa memberi "arahan" atau gambaran tentang apa yang akan terjadi kemudian. Walau itu belum tentu terjadi. Blackpink: Light Up The Sky memiliki itu. Apa yang akan terjadi pada keempat gadis cantik itu di kemudian hari.

Tentu saja, kita tidak tahu masa depan seperti apa. Dua puluh tahun lagi, mungkin akan ada dokumenter superseru berjudul Blackpink: Twenty Years Later.

Saat itu, kita akan mendapatkan sudut pandang menarik tentang apa yang sekarang sebenarnya sedang terjadi. Siapa tahu, ceritanya berbeda dengan dokumenter yang beredar pada 2020 ini.

Setelah akhirnya menonton Song Exploder edisi R.E.M., saya menyadari kalau lagu yang sukses pada 1991 pada perjalanannya bisa diartikan berbeda oleh generasi yang berbeda, oleh kelompok manusia yang berbeda. Bahkan para personel R.E.M. yang kini sudah berusia 60-an pun memandang lagu Losing My Religion dengan sudut pandang yang berbeda pula. Bahkan kaget-kaget sendiri.

Bahkan, mungkin banyak yang tidak sadar kalau lagu itu sebenarnya tidak ada kaitannya sama sekali dengan agama! Silakan riset sendiri, ungkapan "losing my religion" sama sekali bukan berarti "kehilangan agama." Artinya sangat jauh dari itu.

Blackpink yang kita kenal sekarang, dipandang sangat beda di kemudian hari. Dalam hitungan bulan saja pandangan kita bisa berubah-ubah. Paling tidak saya sendiri. Di awal-awal dulu saya pikir saya juga suka Lisa. Setelah menonton dokumenternya, saya jadi lebih suka dengan Jennie. Entah kelak di kemudian hari... (Azrul Ananda)

Comments (17)

Catatan Rabuan

Tergila-gila BlackPink

Yap. Tergila-gila K-Pop. Yap. Tergila-gila BlackPink.

Welcome To Happy Wednesday 2.0

Sudah lebih dari setahun saya tidak menulis Happy Wednesday, sebuah kolom hari Rabu di mana saya bisa menulis sesuka hat...

20 Tahun Cinta Namie Amuro

Entah ini tulisan sudah terlambat 20 tahun, atau mungkin hanya terlambat setengah tahun. Yang jelas ini dekat dengan mom...

Shazam dan Tom Hanks

Maklum, sudah lama tidak pacaran. Sabtu malam lalu (30 Maret), istri saya seret pergi ke bioskop. Nonton Midnight. Tapi,...