Catatan
Rabuan
Azrul
Ananda

Greysia Polii dan Apriyani Rahayu berhasil mendapatkan medali emas untuk Indonesia. Dan mereka layak mendapatkan lebih dari itu. Lebih dari segala bonus dan hadiah yang akan mereka dapatkan. Pasangan ganda putri ini bukan hanya menyelamatkan gengsi Indonesia. Mereka adalah penghibur nomor satu, good news nomor satu, di tengah situasi yang sedang tidak pasti di negeri ini.

Pertama soal gengsi. Medali itu memastikan Indonesia meraih hasil lebih baik dari Olimpiade 2012 di London, lebih baik dari Olimpiade 2016 di Rio. Menempatkan posisi Indonesia lebih tinggi dari negara-negara Asia Tenggara lain. Masak negara yang penduduknya paling banyak kalah dengan tetangga-tetangganya.

Kemudian soal menjadi good news. Saya kira sudah bukan rahasia bukan, kalau banyak orang (mayoritas?) sedang sumpek di Indonesia sekarang. Pandemi yang tak jelas kapan ujungnya, penanganan yang seolah tak jelas arah dan masterplan-nya, disusul dengan berbagai kesulitan membuat perencanaan yang bisa berdampak besar bagi kesejahteraan jutaan manusia Indonesia.

Masyarakat yang sumpek dapat hiburan. Pengusaha yang sumpek dapat pengalih perhatian sejenak. Bahkan anak-anak sekolah yang sumpek tidak bertemu teman dapat tontonan. Termasuk anak-anak saya, yang baru belakangan ini mulai suka bulu tangkis, dan tidak percaya kalau ayahnya dulu tiga tahun ikut klub Djarum...

Pemersatu bangsa yang sebenarnya. Bukan seperti yang diidentikkan dengan postingan-postingan seronok...

Sayangnya, setiap good news ada masa berlakunya. Kebahagiaan itu lambat laun akan kembali disusul dengan realita sekarang. Kita harus menunggu lagi hingga empat tahun lagi (eh, tiga?) untuk dapat berita indah seperti yang diraih oleh Greysia Polii dan Apriyani Rahayu.

Itu kalau masih bisa dapat lagi.

Dan ingat, kali terakhir Indonesia dapat dua medali emas dalam satu Olimpiade adalah 1992 dulu. Waktu saya masih SMP. Waktu Susi Susanti dan Alan Budikusuma jadi pahlawan nasional.

Mungkin karena saya banyak terlibat di dunia olahraga, saya pun dapat pertanyaan-pertanyaan tentang ini. Kenapa kok Indonesia, dengan penduduk begitu banyak, begitu sulit mendapatkan medali emas di Olimpiade. Sementara Australia, yang penduduknya hanya se-Jabodetabek, bisa bersaing sengit di lima besar.

Beberapa bulan lalu, saya dapat kunjungan dari anggota DPRD sebuah provinsi utama di Indonesia. Kebetulan ada yang di komisi olahraga. Dan dia bertanya, kenapa kok anggaran olahraga begitu besar, tapi tidak banyak atlet dan prestasi menonjol dihasilkan.

Saya ingat betul. Saat dia menyebut angka anggarannya, saya hanya bisa elus dada dan geleng-geleng kepala.

Saya juga sering diajak diskusi soal olahraga, dalam skala diskusi berdua, forum diskusi formal, maupun dalam diskusi online seperti beberapa hari lalu bersama Mas Sandiaga Uno di channel YouTube-nya (Belajar Kreatif Dari NBA: Tata Kelola Sports Tourism). Tema waktu itu bagaimana kita bisa belajar dari empunya olahraga dunia. Dalam hal itu basket, dari NBA. Waktu itu Mas Sandi mengajak bicara saya, Mas Helmy Yahya, serta Thomas Teddy "TK7."

Semuanya orang hebat di olahraga. Mas Sandi itu bukan hanya pintar dan sukses, dia itu olahragawan hebat. Mas Helmy adalah pendahulu saya sebagai penyelenggara event olahraga. Sedangkan yang terakhir itu membanggakan, dia selain pernah jadi atlet basket hebat di Indonesia, sekarang bekerja untuk liga olahraga terbesar di dunia, NFL, di Amerika sono.

Dalam diskusi-diskusi itu, biasanya saya selalu menekankan pentingnya partisipasi di dunia olahraga. Bagaimana kembali ke fundamental, mengingatkan kita pada pelajaran sekolah zaman dulu, yang pernah menyebut istilah "Memasyarakatkan Olahraga dan Mengolahragakan Masyarakat."

Saya juga sudah berkali-kali menyinggung itu dalam tulisan saya selama bertahun-tahun. Dan tentu, itu filosofi utama saya dalam mengembangkan segala "usaha olahraga" yang saya tekuni selama ini.

Hanya saja, saya selalu menyampaikannya dengan bahasa: "Partisipasi adalah income, prestasi adalah cost. Kalau partisipasi terus dikembangkan, maka partisipasi akan bisa membiayai prestasi."

Filosofinya kedua istilah itu sebenarnya searah, hanya mungkin istilah saya lebih "industri."

Saya tidak mau menuliskannya panjang lebar lagi. Saya ingin merangkumnya saja. Maksud saya adalah, kalau ingin menjadi negara yang punya banyak prestasi di dunia olahraga (apa pun), maka yang paling utama adalah terus meningkatkan partisipasinya.

Definisi saya soal "partisipasi" itu sangat luas. Mulai dari makin banyak yang menjalani olahraga itu, menseriusi olahraga itu, sampai makin banyak yang menonton olahraga itu. Karena semakin banyak yang berpartisipasi, maka perputaran uang di olahraga itu akan terus meningkat, industrinya hidup, dan kemudian olahraga itu bisa hidup secara "industri." Setelah itu, seharusnya lebih mudah menemukan atau menciptakan bintangnya.

Karena fokus utamanya partisipasi, maka segala resource diarahkan untuk itu. Memperbanyak peserta olahraga. Yaitu atlet yang berlaga, serta penonton yang akan keluar uang untuk menonton dan mendukung industrinya. Jangan lupa pelatihnya, wasitnya, fisionya, serta semua yang menopang olahraga itu.

Jangan terjebak seperti sekarang, yang rasanya lebih banyak pengurus olahraga daripada olahragawannya. Pengurus yang bukan atlet, bukan ahli olahraga, bukan pelaku industri olahraga, dan yang pasti bukan pembeli tiket untuk menonton olahraga. Yang lebih parah, pengurus yang belum tentu mengerti olahraga, dan belum tentu berolahraga!

Saya ingat sekali dulu sekali. Waktu pernah membantu penanganan timnas basket. Ada pejabat tinggi datang, dan waktu itu dia ikut andil dalam penganggaran olahraga. Dia melihat tim latihan. Lalu bilang ke saya: "Suruh saja mereka itu latihan terus tembakan tiga angka. Pasti menang."

Terus terang saya bingung menanggapinya. Kalau dari dulu gampangnya seperti itu, Indonesia sudah juara dunia kali ya?

Kembali soal partisipasi. Karena Indonesia ini sistem olahraganya belum efisien, masih ada cara untuk "potong kompas."

Untuk mempercepat angka partisipasi, fokus harus ditujukan ke "panggung"-nya. Pangkas dan simplifikasi besarnya kepengurusan olahraga sekarang, lalu lakukan semacam desentralisasi. Berikan kepercayaan lebih kepada induk olahraga masing-masing, utamakan anggaran ke mereka.

Dengan catatan, key performance indicator (KPI)-nya diubah. Untuk sementara, jangan fokus dulu ke prestasi. Karena prestasi itu ongkos, dan ongkos tidak akan ada ujungnya. Masak ratusan miliar, atau lebih, hanya untuk satu medali per tahun?

Lalu KPI barunya apa? Setiap induk olahraga harus berlomba banyak-banyakan jumlah kompetisi dan pertandingan.

Setiap tahun, jangan bertanya: "Berapa medali yang kamu hasilkan?"

Pertanyaannya harus: "Berapa pertandingan yang kamu selenggarakan?"

Inti dari semua adalah panggungnya. Semakin banyak panggung, semakin banyak atlet yang ikut untuk unjuk gigi. Semakin banyak atlet unjuk gigi, semakin besar potensi menemukan bintang. Dan bintang itu akan terus diberi tekanan, karena akan terus dikejar oleh bintang-bintang baru karena panggungnya tak pernah berhenti.

Panggung itu juga akan menghasilkan lebih banyak wasit, lebih banyak pelatih, lebih banyak pekerjaan di dunia olahraga (bukan hanya pengurus). Sekali tembak, banyak yang dihasilkan. Maaf, DBL saya adalah salah satu contohnya. Bukti nyata menjaring lebih banyak partisipan olahraga.

Anggarannya mungkin juga bisa lebih jauh sederhana.


Opening kompetisi DBL 2019 Seri Surabaya.

Saya jadi ingat lagi anggaran yang disampaikan para anggota DPRD di kantor saya itu. Ya Tuhan... Jangankan satu wilayah. Sebuah cabang olahraga bisa membuat panggung besar di setiap kota di Indonesia...

Bintang-bintang baru pun bermunculan. Siapa tahu, setiap empat tahun sekali, medali kita bisa lebih dari satu secara konsisten...(Azrul Ananda)

Comments (39)

Catatan Rabuan

Olahraga (Industri) yang Sehat

Olahraga bisa bikin badan kita sehat. Jiwa kita juga kuat. Jadi pengurus olahraga di Indonesia mungkin bisa punya efek b...

Formula 1 Tidak Selamanya?

Sudah lebih dari 25 tahun ini, bulan Maret membuat saya berdebar-debar dan berbahagia. Karena bulan inilah sesuatu yang...

Kebaikan Lucky

Saya tidak ingin sering menulis seperti ini. Tribut untuk seorang sahabat yang baru saja pergi. Tapi ada begitu banyak i...

Obrigado Ayrton Senna, 25 Tahun Kemudian

Tepat 1 Mei, 25 tahun lalu, salah satu peristiwa terbesar dalam hidup saya terjadi. Peristiwa yang sampai hari ini masih...