Catatan
Rabuan
Azrul
Ananda


Pengunjung memadati jalan utama menuju Magic Kingdom theme park di Walt Disney World, Florida, Agustus 2021 silam. Insert: Bob Chapek, CEO The Walt Disney Company. (Foto: AP).

Akhirnya momen itu telah tiba. Bisa menjelaskan ke anak-anak sendiri, supply and demand dan realita kehidupan...

Yap. Tidak terasa, anak-anak semakin besar. Anak pertama saya sudah 14 tahun, kelas 2 SMP. Yang kedua kelas 1 SMP, yang paling kecil kelas 5 SD. Tontonan mereka makin "dewasa," bacaan mereka makin variatif. Opini masing-masing juga semakin kuat.

Anak pertama, sejak kecil, sepertinya memang dapat turunan "penyakit penasaran" kakek dan ayahnya. Selalu ingin tahu, tidak akan berhenti sampai dia benar-benar paham.

Ketika suka kereta api, setiap hari minta diantar ke penyeberangan atau stasiun. Lihat kereta api. Oleh kakeknya berkali-kali diajak naik kereta api, bahkan sampai ke pabrik kereta api.

Ketika senang pesawat, permintaannya diantar melihat pesawat take off dan landing di dekat bandara. Dia beruntung, dan kami bersyukur, orang tua (dan kakeknya) mampu mengantarkan sampai langsung ke pabrik pesawat.

Antusiasme itu kelihatan jelas saat ikut tur dan dipandu guide. Dia dengan semangat selalu ingin di depan rombongan tur. Paling dekat dengan guide untuk mendengarkan sebaik mungkin, dan bisa bertanya langsung.

Waktu ke museum kereta api begitu. Waktu ke pabrik pesawat begitu.

Kesukaan dia nonton YouTube juga punya keunikan. Bukan sekadar tontonan-tontonan "anak-anak." Setiap hari dia mengikuti tayangan berita-berita (asing). Jadi dia lumayan update tentang situasi dunia.

Di tengah kesukaan yang sedang jadi fokus, dia selalu mencoba update tentang dunia amusement park alias taman hiburan. Dia termasuk maniak roller coaster. Suka menonton dan nyaris hafal semua roller coaster di dunia. Bahkan sampai tahu yang ini dibuat oleh pabrik mana, di negara mana. Lalu desainernya siapa.

Dia punya bucket list. Kalau pandemi berakhir, dia ingin ke mana saja. Dia ikut menghitung kalau ke sini berapa, ke sana berapa, dan lain-lain.

Nah, bicara soal bisnis amusement park ini, alangkah terkejutnya saya. Beberapa hari lalu, dia dan adiknya mengomel ke saya dan istri. Mereka ngomel-ngomel soal situasi terbaru Disney. Spesifiknya, taman hiburan di bawah naungan Disney (Disneyland, Disneyworld, dan lain-lain).

"Bob Chapek harus OUT," kata mereka lantang.

Bob Chapek adalah CEO Disney yang sekarang, yang sejak 2020 lalu menggantikan Robert Iger.

"Lho, kenapa Chapek harus out?" tanya saya.

"Karena dia hanya memikirkan uang. Maunya hanya untung dan untung," timpal anak saya.

Ayrton, nama anak saya yang pertama, menjabarkan lebih lanjut. Bahwa sekarang kalau masuk taman-taman hiburan Disney, semakin banyak yang harus membayar. Dulu, masuknya bayar, lalu naik-naik wahananya bebas. Sekarang, sudah masuknya bayar lebih mahal, untuk naik-naik wahana bisa dikenai biaya tambahan. Apalagi kalau mau ambil opsi potong antrean.

Intinya, tegas dia, semuanya makin bayar!

Rupanya, dia juga punya "teman-teman online" sepemikiran. Dari berbagai penjuru dunia. Yang ramai memprotes kebijakan baru Disney ini. Ramai memprotes Chapek. Bahkan, ada petisi online untuk meminta pemecatan Chapek.

Saya memancing ke anak saya: Kenapa harus Chapek yang out? Jawabannya penuh simplifikasi: "Karena dia hanya mau uang dan uang dan uang."

Mendengar itu, saya hanya bisa tersenyum. Dalam hati, saya tertawa terpingkal-pingkal. Di satu sisi, saya memaklumi. Dia masih SMP kelas 2. Bersama adiknya yang lebih kecil. Teman-teman online-nya juga "anak-anak" semua.

Dalam hati, saya juga berucap: Momen itu telah tiba. Waktunya menyampaikan ke anak-anak tentang realita hidup. Minimal tentang pemahaman dasar bisnis.

Saya mencoba menjelaskan:

"Lho, Disney kan memang bisnis. Tujuan utama mereka mencari untung bagi para pemiliknya, para investornya. Dan Chapek sebagai CEO kan bukan pemilik. Dia bekerja untuk para pemilik. Jadi, percuma kalau minta Chapek out, karena pemiliknya akan menggantikan dia dengan CEO lain, yang punya tujuan sama."

Reaksi awal mereka bisa dipahami. Seolah tidak terima. Tapi mau tak mau harus mengakui kenyataan itu. Disney itu perusahaan. Disney itu punya misi menyenangkan begitu banyak anak di dunia, kemudian dari situ meraih penghasilan dan keuntungan sebanyak mungkin.

Semua di dunia ini berputar pakai uang. Dalam hati, saya nyeletuk sendiri: Wong operasional masjid dan gereja pun pakai uang.

Kemudian, saya sedikit memasukkan pemahaman tentang hukum supply dan demand. Harga akan naik salah satunya karena ada permintaan banyak, atau bahkan berlebih. Kenapa Disney menerapkan kenaikan dan penambahan biaya? Karena yang mau membayarnya juga banyak, bahkan mungkin bertambah.

Sama dengan tiket naik pesawat. Semakin populer rutenya, semakin penuh penumpangnya, semakin mahal harganya.

Sama dengan harga nonton pertandingan olahraga di negara-negara maju, atau di negara yang industri olahraganya jalan. Semakin tinggi gengsi pertandingan, semakin banyak orang berminat nonton, maka harga tiket pun akan ikut naik.

Bahkan hiburan-hiburan rakyat pun harganya akan naik ketika ada banyak rakyatnya ingin menikmati!

Mendengarkan penjelasan-penjelasan itu, saya sadar anak-anak saya akan butuh waktu untuk memproses dan memahaminya. Dan suatu saat kelak, mereka mungkin akan berada dalam posisi yang sama dengan pemegang kendali bisnis lain. Harus membuat keputusan-keputusan yang sama.

Dan gara-gara protes anak-anak itu, saya jadi penasaran juga dengan Disney. Mengingat di awal pandemi, Disney termasuk yang paling terpukul. Khususnya di lini bisnis taman hiburannya. Puluhan ribu karyawan harus dirumahkan.

Rupanya, dalam setahun terakhir, Disney kembali strong. Bahkan, menurut laporan keuangannya, akhir 2021 lalu pemasukan mereka berlipat ganda, mengalahkan angka sebelum pandemi, dan memecahkan rekor-rekor baru. Hasil kombinasi dari bertambahnya pengunjung dan kenaikan harga tiket.

Menanggapi berbagai protes di forum-forum online, jawaban dari Disney ya sesederhana penjelasan saya kepada anak-anak saya. "Mau tak mau harus diakui, ini adalah bisnis suplai dan demand. Dan suplai kami terbatas," ucapnya seperti dilansir CNBC.

Luar biasa ya Disney ini. Produk-produknya sangat berpengaruh kepada anak-anak, termasuk pesan-pesan kehidupan lewat film-filmnya. Dan ternyata, realita perilaku bisnisnya pun bisa jadi alat untuk mengajari anak-anak untuk memahami pula konsep bisnis sedini mungkin.

Saya yakin, anak saya sekarang banyak mencari informasi tentang realita bisnis ini. Dan itu akan membantunya berpikir lebih kritis, lebih logis, dan --semoga-- lebih dewasa. Beberapa waktu lagi saya akan bertanya ke dia. Apakah dia masih keukeuh dengan opini kuat Chapek harus out? (azrul ananda)

Comments (18)

Catatan Rabuan

Aladdin: Sudut Pandang Laki-Laki

Selamat datang di era “regenerasi konsumen” ala Disney. Film-film kartun klasik yang populer puluhan tahun lalu sekarang...

Selamat Tinggal Star Wars (dan Disney?)

Tahun ini saya membuat keputusan pribadi besar: Saya menegaskan bahwa saya bukan lagi penggemar Star Wars.

Welcome To Happy Wednesday 2.0

Sudah lebih dari setahun saya tidak menulis Happy Wednesday, sebuah kolom hari Rabu di mana saya bisa menulis sesuka hat...

20 Tahun Cinta Namie Amuro

Entah ini tulisan sudah terlambat 20 tahun, atau mungkin hanya terlambat setengah tahun. Yang jelas ini dekat dengan mom...