Secara tidak terduga, Senin lalu (8 Agustus) kami kedatangan tamu seru di kantor DBL Indonesia di Surabaya Town Square. Dia adalah Stephanus Widjanarko, 36, yang sudah sembilan tahun bekerja di tim Formula 1 Alpha Tauri (dulu Scuderia Toro Rosso).
Hingga hari ini, sepertinya, hanya dialah satu-satunya orang Indonesia yang bekerja di tim F1 sebagai engineer. Lebih spesifiknya, sebagai aero engineer. Dan harus ditegaskan, dia sudah sembilan tahun. Dari kerja kantoran sampai belakangan masuk divisi aero performance, ikut tim traveling dan "bertarung" di lintasan.
Kedatangan Tephie --sapaan akrabnya-- ini memang tak terduga. Dia kelahiran Bandung, lulusan ITB, dan sekarang tinggal di Inggris. Keluarganya juga tidak ada yang di Surabaya. Saya menduga istrinya (dia baru menikah enam bulan) orang Surabaya. Ternyata juga bukan.
Tephie hanya datang kurang dari 24 jam di Surabaya. Dia datang untuk mengurus visa Amerika Serikat di Konsulat Jenderal di Surabaya, untuk keperluan bekerja ikut tim Alpha Tauri berlaga di Grand Prix Amerika Serikat di Austin, Texas, Oktober mendatang. Kebetulan ini sedang libur musim panas F1, jadi para pekerjanya sedang meluangkan waktu maksimal bersama kehidupan pribadi masing-masing.
Menurut Tephie, karena situasi global, mengurus visa di Eropa sedang tidak simple. Jadi jalan terbaik adalah mengurusnya di Indonesia, kebetulan dapatnya di Surabaya. Mumpung sedang liburan juga mengunjungi keluarga.
Tephie datang di Surabaya Minggu malam. Dia hangout dengan Doni Chandra, salah satu pionir F1 Mania Surabaya, yang mendekati tengah malam mengabari Dewo Pratomo, partner saya di Mainbalap Podcast Show di kanal Mainbalap di YouTube.
Kebetulan, Senin adalah hari kami syuting podcast. Tinggal menambah satu sesi untuk tamu khusus ini. Dan rupanya, Tephie juga diingatkan tentang kami oleh Papanya, Hendra Gunawan seorang penggemar F1 kelas berat yang ternyata selalu mengikuti podcast kami. "Azrul itu di Surabaya," kata Tephie mengulangi ucapan sang Papa.
Setelah podcast, Tephie langsung ke bandara. Melanjutkan liburannya bersama keluarga.
Tentu, saya tidak akan menceritakan obrolan podcast di dalam tulisan ini. Anda harus menontonnya sendiri nanti di YouTube, di Mainbalap. Anda akan merasa bangga, ada seorang anak Indonesia yang ikut berperan di ajang paling bergengsi itu. Pernah ikut jadi desainer mobil, dan kini tergabung di pasukan yang berkiprah di sirkuit.
Yang ingin saya ceritakan adalah bagaimana dia bisa bekerja di F1. Lalu bekerja di divisi aerodinamika, padahal ketika di ITB dia itu lulusan Teknik Mesin.
Cerita tentang Tephie ini sebenarnya juga bukan cerita baru. Banyak yang sudah tahu, dan sudah muncul beberapa kali di media kita. Tapi belum ada yang detail (kebiasaan media kita sekarang), dan belum ada yang sangat komprehensif menjelaskan pekerjaan dia itu apa. Sebagian akan terjawab di sini, lebih detailnya akan muncul dari dia sendiri di podcast nanti.
Saya sendiri belum pernah bertemu dia. Saya terakhir liputan langsung di sirkuit F1 pada penghujung 2017. Waktu itu, Tephie masih belum masuk "tim keliling." Dia masih jadi personel kantoran. Yang sering ketemu dia adalah Sean Gelael, pembalap Indonesia yang pernah menjajal mobil F1 Toro Rosso.
Stephanus Widjanarko sempat nongol di Drive to Survive, serial dokumenter yang diproduksi Netflix dan Formula 1.
Nah, bagaimana Tephie bisa tergabung di tim F1, bahkan bekerja di departemen aerodinamika?
Kata dia semua karena kelanjutan krisis ekonomi 2008-2009. Setelah lulus dari ITB, dia dapat beasiswa di University of Twente. Sebenarnya minat belajar tentang energi terbarukan, belajar tentang wind turbine (kincir angin). Tentu saja, itu berarti belajar aerodinamika.
Karena situasi ekonomi waktu itu, program energi itu menemui hambatan. Banyak orang diberhentikan. Setelah program berakhir, dia harus mencari pekerjaan. Dan pekerjaan apa saja tidak masalah. Pokoknya bekerja. Dia mengirim lamaran ke mana-mana, termasuk ke tim-tim F1. "Kan tidak ada sulitnya. Hanya tinggal mengirim lamaran saja," tegasnya.
Papanya, yang penggemar berat F1, ikut mendorongnya ke sana. Siapa tahu tembus. Mungkin karena doa Papa itu, lamarannya ternyata tembus. Dia diterima oleh Scuderia Toro Rosso pada 2013.
Tim itu dulunya bernama Minardi. Kemudian diakuisisi oleh Red Bull. Sampai sekarang jadi "tim junior" atau "tim adik" Red Bull. "Toro Rosso" itu bahasa Italia, yang artinya "Red Bull." Baru beberapa tahun terakhir ganti nama jadi Alpha Tauri, untuk mempromosikan label fashion milik Red Bull.
Waktu Tephie bergabung, Toro Rosso masih dalam fase membangun dan membesarkan tim di Faenza, Italia (dekat Bologna). "Kantornya belum kantor permanen," kenang Tephie.
Pekerjaan pertamanya ternyata seperti bikin video game. Dia bertugas menerjemahkan bentuk tiga dimensi barang nyata menjadi barang virtual. Yang kemudian bisa digunakan sebagai bahan simulasi. Kemudian terus berkembang sampai ikut mendesain bagian depan mobil (hidung dan sayap). Sekarang berkembang lagi di divisi aero performance, untuk memastikan hasil simulasi virtual itu benar-benar terwujud di lintasan nyata.
Mengantornya sekarang di Inggris. Mendekatkan diri dengan fasilitas terowongan angin (wind tunnel) milik Red Bull di sana.
Ya, memang butuh orang sekampung dengan pendidikan istimewa untuk menurunkan dua mobil di lintasan F1!
Tephie mengangkat piala pembalap Alpha Tauri, Pierre Gasly, saat meraih kemenangan di GP Italia pada musim 2020.
Kita doakan saja semoga karir Tephie di F1 terus berkembang. Siapa tahu, kelak dia bisa terus naik ranking, menjadi makin top di F1. Indonesia boleh kesulitan menurunkan pembalap di F1, tapi Indonesia sudah punya insinyur yang berkarir cukup panjang di situ.
Dan semoga, Tephie membuka jalan bagi lebih banyak lagi insinyur Indonesia untuk berkiprah di ajang paling bergengsi itu... (azrul ananda)