Catatan
Rabuan
Azrul
Ananda

De javu rasanya. Build up-nya. Atmosfernya. Ending-nya.

Final pertama DBL 2004 di Surabaya, di GOR Kertajaya. Kemudian 19 tahun kemudian: Final Honda DBL with Kopi Good Day 2023 di Jakarta, di Indonesia Arena.

Teman-teman pemerhati basket Indonesia mungkin mengikuti apa yang terjadi pada Jumat, 17 November lalu. Lebih dari 12.000 penonton meramaikan Indonesia Arena di kawasan Gelora Bung Karno, Senayan. Menyaksikan babak final Honda DBL with Kopi Good Day 2023 seri DKI Jakarta.

Final liga SMA tersebut memecahkan rekor penonton terbanyak laga final di Indonesia. Yang sebelumnya dipegang final National Basketball League (NBL) Indonesia 2011-2012, antara Satria Muda dan Aspac, di Jogjakarta. Waktu itu, 8.000 orang menyesaki GOR UNY.

Kebetulan, rekor baru dan rekor lama ini sama-sama di bawah pengelolaan PT DBL Indonesia. Dan rekor tersebut butuh waktu lama untuk dipecahkan, karena memang tidak ada gedung basket dan "momentum" kompetisi yang bisa mendorong terjadinya pemecahan rekor.

Sekarang, sudah ada Indonesia Arena, yang dibangun untuk Piala Dunia basket beberapa bulan lalu. Memiliki kapasitas sekitar 16.000 penonton, dulu sulit membayangkan ada kompetisi Indonesia yang bisa memenuhinya.

Final DBL pun sebenarnya kurang percaya diri. Kami memblokir satu sisi stadion, memasang panggung megah di sana. Kami mematok tiket maksimal 12.000 orang. Tidak yakin bisa menjual sebanyak itu, apalagi lebih.

Bagaimana pun, Jakarta bukan "rumah" DBL. Liga SMA ini dimulai di Surabaya pada 2004, lalu ekspansi ke berbagai penjuru Indonesia dulu sebelum memulai di Jakarta pada 2012. Momentum di Jakarta terus bertambah hingga sebelum pandemi. Bahkan, setelah pandemi pun momentum terus meningkat di ibu kota. Pertumbuhan peserta dan penonton merupakan yang tertinggi musim ini.

Meski demikian, sulit mengukur berapa maksimal penonton yang bisa diharapkan untuk laga "besar" --termasuk final-- di Jakarta.

Walau di ibu kota, gedung-gedung basket di Jakarta tergolong kecil-kecil. Yang terbesar tak jauh di angka kapasitas 5.000.

Untuk penyelenggaraan DBL di Jakarta, Indonesia Arena adalah sebuah game changer. Alat ukur resmi seberapa besar serapan penonton liga SMA terbesar di Indonesia ini.

Kami beruntung ada begitu banyak orang merasakan impact DBL dalam hampir dua dekade terakhir ini. Banyak orang muda sekarang sudah berada di posisi penting di tanah air. Salah satunya, Menteri Pemuda dan Olahraga Dito Ariotejo. Dalam dekade terakhir ikut menjadi saksi berkembangnya DBL.

Mas Menteri lah yang menantang, dan kemudian membantu terwujudnya final DBL Jakarta di Indonesia Arena. Kalau Mas Menteri tidak membuka jalan, final 17 November kemarin tetap diselenggarakan di arena yang kecil.


Menpora Dito Ariotejo menyerahkan trofi untuk tim basket putra SMA Jubilee yang menang dramatis atas SMA Bukit Sion, 53-52.

Soal biaya, kami tahu tidak akan murah. Sangat, sangat mahal. Wajar, ini arena kelas Piala Dunia. Tapi kami yakin bisa mengejar biaya tersebut. Sejak 2004, DBL sudah di-setting secara profesional. Kuncinya adalah memberi panggung yang memberi kebanggaan untuk pemain, menyuguhkan pengalaman yang tak terlupakan bagi yang menonton.

Kalau jumlah penonton bisa sesuai target, kami akan baik-baik saja.

Syukur alhamdulillah. Begitu banyak pihak mendukung DBL. Sebelum babak semifinal, sebelum tahu SMA mana yang akan berlaga di final, lebih dari separo tiket sudah terjual. Dan dua hari sebelum final, semua tiket sudah terjual.

Bisa jual lebih banyak? Mungkin iya. Tapi kami tidak ingin berlebihan dulu. Tantangan masih banyak. Selain Piala Dunia, belum ada yang menggunakan Indonesia Arena untuk pertandingan basket besar lain. Apalagi yang menggunakan setting entertainment sekompleks DBL.

Dua pertandingan (putri dan putra) itu adalah laga final pertama yang diselenggarakan di Indonesia Arena. Tim putri dan putra yang jadi juara adalah dua tim pertama yang mengangkat piala di dalam Indonesia Arena.


Banyak penonton memuji bagaimana DBL Indonesia bisa membuat bangga para pemain lewat cara pemanggilan starting line up yang dikemas layaknya NBA All-Star dengan video yang menawan.

Alhamdulillah lagi. Hari final itu begitu meriah. Banyak bumbu luar biasa di situ, membuat suasana makin menggelora dan tak terlupakan.

Bagaimana tim putri SMAN 70 meraih threepeat lewat laga sengit melawan SMA Jubilee. Bagaimana komedian Augie Fantinus meraih hadiah motor Honda setelah sukses menembak dari tengah lapangan. Bagaimana pertandingan final putra berlangsung supersengit sampai detik terakhir, ketika SMA Jubilee meraih kemenangan satu angka atas SMA Bukit Sion.

Show di antara pertandingan, show menjelang pertandingan, semua lancar jaya. Hanya kami yang tahu kesalahan-kesalahan kecilnya, he he he.


Salah satu show yang mengundang kekaguman penonton, blackout seluruh arena dan menampilkan video mapping di lapangan.

Tamu-tamunya tentu luar biasa. Ada banyak selebriti (termasuk selebriti senior yang anak-anaknya ikut bertanding di DBL), para pemain bintang profesional dan timnas Indonesia (rata-rata alumnus DBL), dan lain sebagainya. Beberapa menteri, pengusaha top, tokoh-tokoh politik (yang memang hobi basket dan/atau anaknya main basket, termasuk di DBL).

Mas Kaesang Pangarep, yang belakangan ikut terjebak di dunia olahraga (sepak bola bersama saya), membawa serta istrinya, Mbak Erina. Ternyata, Mbak Erina ini dulu juga ikut DBL di Jogja, jadi peserta kompetisi dance. Kakak Mbak Erina juga.

Saya hanya bisa geleng-geleng kepala. Kok semuanya tiba-tiba nyambung ke DBL.


Azrul Ananda bersama Menparekraf Sandiaga Uno (tengah) dan CEO Persis Solo Kaesang Pangarep beserta istri Erina Gudono saat nonton final DBL Jakarta. Selain menteri, Sandiaga dikenal sebagai tokoh basket sekaligus penghobi basket kelas berat.

Lebih dari 100 media minta akreditasi meliput. Ada jurnalis dari Argentina yang meliput Piala Dunia U-17 datang karena penasaran. Ada yang menulis judul: Final SMA Rasa NBA.

Saya langsung flashback ke 2004. Karena kurang lebih itulah judul tulisan saya setelah final DBL pertama dalam sejarah, di Surabaya. Waktu itu panitianya masih belasan orang. Punya satu kaus panitia yang dipakai terus menerus sehingga warna putihnya jadi cokelat muda.


Foto bersama panitia usai Final DBL Jakarta di Indonesia Arena.

Waktu itu, kami harus berkutat dengan gedung-gedung kecil, karena tradisi pengelolaan basket yang "heboh" masih belum ada.

Jajaran manajemen utama PT DBL Indonesia adalah pelakunya waktu itu, termasuk saya. Kami memasang sendiri scoreboard, memasang sendiri spanduk-spanduk kain (belum ada digital print).

Waktu itu, banyak yang heran apa yang kami lakukan. Saya ingat betul momen satu ini. Malam sebelum final di GOR Kertajaya. Saya sedang memasang spanduk logo DBL di meja wasit, di pinggir lapangan.

Ada orang basket senior Surabaya mendatangi saya. Beliau bertanya: Ini untuk apa? Saya jelaskan ini untuk DBL, liga basket SMA yang finalnya besok. Beliau bertanya lagi: Tiketnya gratis atau bayar? Saya jawab, harus bayar Rp 5.000 per orang.

Saya ingat betul responnya setelah itu: "Tiket lima ribuan? Siapa yang mau nonton besok!"

Sayang, saat final, saya tidak kelihatan orang tersebut. Penonton waktu itu total hampir 5.000 orang. Harus gantian menonton final putri dengan final putra, karena kapasitas GOR Kertajaya hanya sekitar 3.000 orang.

Katanya, penonton final DBL 2004 itu memecahkan rekor penonton basket di Jawa Timur. Yaitu final PON 2000 yang juga di GOR Kertajaya.

Yang membuat laga itu tak akan terlupakan oleh mereka yang menonton: Final terakhirnya juga berlangsung super mendebarkan sampai akhir. Bahkan, sampai perpanjangan waktu.

Tim putra SMA Petra 4 Sidoarjo seolah sudah akan mengunci juara. Namun, hanya kurang beberapa detik, SMAN 2 Surabaya berhasil memasukkan tembakan tiga angka (katanya ini sempat kacau dan salah umpan). Setelah itu, di overtime, SMAN 2 Surabaya berhasil mencatat sejarah sebagai tim putra pertama yang menjadi juara di DBL.

Kemasan waktu itu juga kami buat semeriah mungkin. Pakai atraksi lampu, pakai efek asap, pemanggilan pemain ala NBA. Belum ada LED, belum ada barang-barang canggih seperti sekarang. Tapi, waktu itu sudah sangat wow.

Komentar orang-orang waktu itu: Final SMA seperti NBA.

Ada satu hal yang ingin saya tekankan tentang final DBL Surabaya 2004 dan final Jakarta 2023: Bahwa yang membuat hari itu tidak terlupakan adalah anak-anak yang berlaga di tengah lapangan.

Kita bisa membuat panggung semewah mungkin, kita bisa menyiapkan acara semeriah mungkin, kita bisa mengeluarkan uang sebanyak-banyaknya. Tapi, kalau yang berlaga di lapangan tidak menunjukkan pride dan tampil total, maka laga itu hanya menjadi panggung yang meriah tapi hampa.

Anak-anak yang tampil di lapangan itulah "nyawa" yang sebenarnya. Dan ini yang selalu membuat saya cinta laga basket pelajar, lebih daripada laga profesional. Karena para pemain pelajar itu bermain dengan sepenuh hati. Skill dan kemampuan mereka mungkin jauh di bawah atlet profesional, tapi setiap langkah, setiap tembakan, adalah curahan hati dan semangat mereka sepenuhnya.

Saya kira, ini juga resep sukses DBL selama hampir dua dekade terakhir. Bahwa ini adalah panggung di mana anak-anak Indonesia bisa unjuk kemampuan. Bahwa mereka bisa belajar apa itu profesionalisme, walau belum jadi pemain --atau orang-- profesional.

Kami --DBL-- selalu menekankan, bahwa bisa menjadi pemain basket, bisa berdiri di atas lapangan basket, adalah sebuah kehormatan. Tidak semua bisa merasakannya. Kalau pemain bisa respect terhadap kesempatan yang dia dapat, maka dia akan respect terhadap semua yang lain.

Nah, sekarang, DBL Indonesia akan melanjutkan seri-seri di kota lain. Total ada 30 kota di Indonesia tahun ini, dari Aceh sampai Papua. Jadwal masih agak berantakan karena baru saja pandemi.

Usai final DBL di Jakarta itu, beberapa insan media bertanya kepada saya: Apakah setelah ini DBL akan konsisten menyelenggarakan liga basket SMA ini?

Jawabannya mudah: Kami sudah melakukan ini sejak 2004. Kami sudah melakukan ini, berusaha mengembangkan ini, selama 19 tahun. Hanya pandemi yang sempat menunda upaya kami mengembangkan DBL hingga seluruh Indonesia.


Dahlan Iskan menyerahkan trofi kemenangan pada tim putri SMA YPPI 2 Surabaya yang menjadi juara DBL 2004 di GOR Kertajaya Surabaya, 7 Agustus 2004.

Masa depan DBL masih panjang. Perkembangannya masih belum kelihatan ujungnya. Apalagi, perkembangan DBL ini didorong pula oleh alumnus-alumnusnya, yang sekarang ikut terjun dalam berbagai kapasitas. Mulai jadi kru, pembuat kebijakan, sampai partner berusaha!

Tahun 2024 nanti adalah perayaan 20 tahun DBL.

Semangat rasanya melangkah cepat lagi ke depan! (azrul ananda)

Comments (21)

Catatan Rabuan

Olahraga (Industri) yang Sehat

Olahraga bisa bikin badan kita sehat. Jiwa kita juga kuat. Jadi pengurus olahraga di Indonesia mungkin bisa punya efek b...

Formula 1 Tidak Selamanya?

Sudah lebih dari 25 tahun ini, bulan Maret membuat saya berdebar-debar dan berbahagia. Karena bulan inilah sesuatu yang...

Kebaikan Lucky

Saya tidak ingin sering menulis seperti ini. Tribut untuk seorang sahabat yang baru saja pergi. Tapi ada begitu banyak i...

Obrigado Ayrton Senna, 25 Tahun Kemudian

Tepat 1 Mei, 25 tahun lalu, salah satu peristiwa terbesar dalam hidup saya terjadi. Peristiwa yang sampai hari ini masih...