Catatan
Rabuan
Azrul
Ananda

Badan saya langsung bereaksi. Bulu kuduk berdiri. Merinding. Campuran sedih dan khawatir. Ini terjadi saat diajak ikut sebuah pertemuan terbatas beberapa waktu lalu. Melibatkan kalangan akademisi, politisi, pengusaha, pelajar, hingga perwakilan pemerintahan asing.

Ada beberapa hal yang dipaparkan. Satu yang membuat badan saya bereaksi: Masalah intoleransi. Yaitu setelah pemaparan survei melibatkan ribuan pelajar, guru, dan dosen dari seluruh penjuru Indonesia disampaikan.

Sebelumnya, masalah intoleransi sudah masuk fase saya maklumi. Ini problem sepanjang masa. Tidak mungkin bisa 100 persen aman tenteram sejahtera.

Tapi saya tidak menyangka angkanya bisa seperti ini.

Survei ini dilakukan oleh Tim Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Isinya tentu cukup panjang dan detail. Jadi saya ringkas saja poin paling utama.

Secara eksplisit, sebanyak 51,1 persen siswa/mahasiswa memiliki opini intoleran. Kemudian, 34,1 persen sudah memasuki fase aksi intoleran.

Itu siswa/mahasiswa. Yang bikin saya sedih adalah guru/dosen.

Berdasarkan survei, secara eksplisit guru/dosen “hanya” 33,9 persen memiliki opini intoleran. Tapi, secara aksi, guru/dosen angkanya mencapai 69,3 persen.

Ya, lebih dari dua per tiga guru/dosen sudah melakukan aksi intoleran. Misalnya, menolak berinteraksi dengan yang agamanya berbeda. Atau menolak bertetangga dengan yang agamanya berbeda.

Pembaca yang budiman, ini terjadi di dunia pendidikan. Ini membuat saya sangat sedih. Angkanya itu membuat saya sangat sedih.

Karena saya termasuk sering traveling dan bertemu dengan pemimpin-pemimpin daerah (atau pusat), tentu tema ini beberapa kali jadi perbincangan kami.

Mereka pun menceritakan pengalaman-pengalaman menghadapi situasi-situasi itu. Misalnya saat mengunjungi sebuah SD, tapi murid-muridnya sudah kompak diajari chant-chant intoleran, bahkan radikal.

Ceritanya tidak hanya tentang satu agama. Ada pula cerita pengalaman intoleransi saat mengunjungi institusi agama yang berbeda.

***

Masalah intoleransi ini memang bukan hanya masalah Indonesia. Banyak negara paling maju pun terus berkutat dengan ini. Tidak ada yang sempurna, jadi rasanya tidak mungkin ada toleransi 100 persen.

Entah berapa kali saya sudah menyatakan ini: Saya orang beruntung. Dan saya akan selalu bersyukur atas segala yang saya alami.

Kalau berpotensi jadi korban besar intoleransi, maka saya seharusnya sudah menghadapi itu saat masih berusia 16 tahun, pada 1993-1994 saat tinggal di Kansas. Jadi siswa pertukaran.

Waktu itu, saya ditempatkan di sebuah kota sangat kecil, Ellinwood, berpenduduk hanya 2.800 orang. Letaknya benar-benar di tengah daratan Amerika, sehingga banyak teman saya belum pernah melihat pantai!

Belum ada telepon seluler, belum ada internet seperti sekarang.

Kota itu –sebenarnya layak disebut desa-- sangat kulit putih. Dari seluruh kota, hanya ada satu keluarga kulit hitam. Tiba-tiba, kota itu kedatangan anak Indonesia. Bahkan saya mungkin satu-satunya anak Asia dalam radius lebih dari 100 km.

Ayah dan ibu angkat saya, John dan Chris Mohn, benar-benar berani “mengadopsi” siswa asing yang benar-benar beda. Biasanya, di kota-kota seperti itu, siswa pertukaran yang datang dipilih dari Eropa.

Mereka tahu saya datang dari keluarga Muslim. Selama setahun penuh saya tinggal di sana, keluarga angkat saya praktis ikut tidak makan babi. Sebenarnya bukan masalah, karena daging sapi memang makanan utama di sana.

Di sekolah, koki makan siang pun selalu menyisihkan menu berbeda untuk saya. Memastikan tidak ada daging babi atau terkumpul dengan makanan lain. Padahal saya tidak pernah minta.

Sekolah SMA di sana, makan siang paling murah dan mudah memang di kantin sekolah. Waktu itu hanya USD 2, sudah dapat menu lengkap bervariasi, minum jus, juga susu.

Pengalaman saya paling menarik, saya berkali-kali diundang mengunjungi gereja-gereja. Di sana, saya diminta bicara tentang Indonesia, bicara tentang agama Islam (sebisa saya menjelaskan waktu itu). Biasanya di depan ibu-ibu gereja, dan mereka senang mendengar cerita dari seseorang yang “berbeda.”

Juga waktu bulan Ramadan. Waktu itu saya puasa penuh, dan selalu memilih bekerja di kamar gelap fotografi atau ruang koran sekolah saat jam makan siang.

Hebatnya, teman-teman satu sekolah sangat menghargai itu. Tidak satu pun menggoda, bahkan tidak satu pun “berani” makan atau minum di sekitar saya. Padahal hanya saya seorang…

Seolah-olah warga satu kota berusaha menjadi tuan rumah yang baik, melakukan segalanya hanya untuk mentoleransi satu anak Indonesia yang berbeda.

Mungkin, hidup saya ini memang anomali. Memang, ada teman-teman saya sesama siswa pertukaran yang punya cerita kurang mengenakkan. Tapi, saya benar-benar beruntung, dan benar-benar bersyukur.

Saya bisa saja “diletakkan” di mana saja sebagai seorang siswa pertukaran. Tapi saya ditempatkan di Ellinwood. Seolah-olah Tuhan memberi saya jalan khusus, menunjukkan kepada saya contoh sejati bagaimana hidup menghargai orang lain.

***

Saya tahu catatan mingguan saya ini seharusnya happy. Jadi mohon maaf kalau kali ini saya kembali melampiaskan kesedihan.

Entah bagaimana harus menyikapinya. Kalau pun harus mengatasinya, juga seperti apa. Satu orang tidak bisa. Di era informasi liar dan segala opini bisa dijadikan senjata, sejuta orang baik yang diam bisa kalah oleh sepuluh orang jahat yang berisik.

Saya punya passion besar untuk kegiatan anak muda. Segala kegiatan saya sekarang banyak berkutat seputar anak muda. Saya hanya melakukan apa yang bisa saya lakukan. Yaitu memastikan anak-anak muda dari berbagai latar belakang dan golongan itu bisa bertemu di panggung yang sama, beraksi dan berkreasi di panggung yang setara.

Di sana mereka bisa saling berkenalan. Bisa saling berinteraksi. Bisa saling mengetahui. Kalau sudah kenal, bisa muncul rasa saling menjaga. Bahkan rasa sayang.

Bisakah? Semoga. Tapi di zaman sekarang ini, entahlah.

Anda mungkin punya pemikiran dan ide-ide lebih brilian. Menurut Anda kita harus bagaimana? (azrul ananda)

Comments (64)

Catatan Rabuan

Welcome To Happy Wednesday 2.0

Sudah lebih dari setahun saya tidak menulis Happy Wednesday, sebuah kolom hari Rabu di mana saya bisa menulis sesuka hat...

20 Tahun Cinta Namie Amuro

Entah ini tulisan sudah terlambat 20 tahun, atau mungkin hanya terlambat setengah tahun. Yang jelas ini dekat dengan mom...

Shazam dan Tom Hanks

Maklum, sudah lama tidak pacaran. Sabtu malam lalu (30 Maret), istri saya seret pergi ke bioskop. Nonton Midnight. Tapi,...

Tergila-gila BlackPink

Yap. Tergila-gila K-Pop. Yap. Tergila-gila BlackPink.