Catatan
Rabuan
Azrul
Ananda

Stephanie Wijaya (tengah), peserta DBL Camp 2019 dari SMAK 1 Penabur Jakarta saat menjalani sesi beep test, Selasa (12/11).

Masa seru tahunan itu kembali tiba. Salah satu masa yang paling saya tunggu setiap tahunnya. Yaitu masa berlangsungnya DBL Camp, di saat sekitar 300 wakil SMA terbaik dari berbagai penjuru Indonesia dikumpulkan di Surabaya.

Mereka akan mendapatkan pelatihan keras dari pelatih-pelatih asing, sekaligus menjalani seleksi untuk masuk skuad DBL Indonesia All-Star. Tim yang akan belajar dan bertanding ke Amerika Serikat.

Tidak terasa, program ini sudah kami (PT DBL Indonesia) selenggarakan sejak 2008. Itu berarti tahun ini adalah penyelenggaraan tahun ke-12. Selusin tahun. Wedian, waktu berjalan begitu cepat.

Awalnya dulu, camp ini diselenggarakan bersama NBA. Kemudian sejak 2010 beralih bersama World Basketball Academy (WBA) yang berpusat di Australia, yang dipimpin oleh Andrew Vlahov.

Andrew Vlahov memberikan pelatihan pada peserta DBL Camp 2018.

Begitu banyak pelatih-pelatih basket hebat sudah datang ke Indonesia untuk program ini. Baik orang Amerika, Australia, atau negara lain. Ada yang kemudian menjadi pelatih kepala di NBA, ada yang kemudian menjadi asisten pelatih atau pelatih kepala di tim-tim nasional negara-negara hebat basket.

Beberapa pemain basket kelas dunia juga pernah berpartisipasi sebagai pelatih.

Saya kira, belum ada program olahraga sepanjang dan sekonsisten ini di Indonesia. Dan hebatnya, program ini sama sekali tidak menggunakan dana dari pemerintah.

Setiap tahun, puluhan ribu peserta kompetisi basket DBL diseleksi. Dari Aceh sampai Papua. Putra maupun putri. Kemudian dipilih yang terbaik dari setiap provinsi penyelenggaraan. Termasuk pelatih-pelatih SMA terbaik.

Mereka ini yang diterbangkan ke Surabaya. Selama hampir seminggu, menjalani program yang melelahkan dan seleksi yang sangat kompetitif.

Tujuan camp memang jelas: Memilih pemain-pemain dan pelatih SMA terbaik untuk dikirim ke Amerika, sekaligus memberi ilmu bagi mereka yang tidak terpilih. Ilmu itu bisa dibawa pulang ke daerah masing-masing, lalu harapannya ditularkan kepada yang lain.

Saking lamanya program ini terselenggara, mayoritas pemain tim nasional Indonesia pernah menjadi bagian dari program ini. Beberapa saya ingat betul, benar-benar baru “ditemukan” di ajang ini.

Misalnya pada 2010, waktu seorang remaja bernama Rizal Falconi dipilih masuk All-Star. Banyak “orang basket” di Indonesia heran dengan pilihan itu. Sebab, siswa SMAN 7 Pontianak itu tidak ikut klub, dan posturnya jauh dari “jadi.” Kurus panjang. Bahkan para pelatih pun memanggilnya “praying mantis.”

Saya pribadi sempat menanyakannya langsung ke Andrew Vlahov, yang merupakan salah satu legenda basket di Australia (dan sekarang pengusaha sukses). “Mengapa Falconi?” tanya saya.

Jawabannya singkat dan to the point, khas Vlahov. “Lihat tangannya. Dia mungkin belum jadi sekarang. Tapi kelak dia bisa menjadi pemain hebat,” ucapnya.

Pada DBL Indonesia All-Star 2010 yang terbang ke Seattle itu, Falconi memang bukan pemain starter. Dia termasuk badut di tim, karena memang paling lucu tingkahnya. Dan tim tahun itu memang tergolong dahsyat. Banyak pemain putra maupun putrinya adalah bintang-bintang terbaik di Indonesia sekarang.

Tapi, Falconi sekarang sudah menjadi bintang juga. Bermain untuk salah satu klub paling kondang, dan kerap dipanggil seleksi timnas.

Dari situ, saya menyadari satu lagi fungsi penting DBL Camp. Yaitu membaca potensi. Dia mungkin belum hebat sekarang, tapi kalau diberi kesempatan, dia berpotensi menjadi lebih baik dari mereka-mereka yang sekarang dianggap terbaik.

Kuncinya adalah memberi kesempatan. Dan program seperti DBL Camp ini memberi kesempatan bagi mereka yang normalnya “tidak terlihat” oleh sistem normal.

Salah satu cerita basket paling kondang melibatkan salah satu pemain terbaik dalam sejarah, Michael Jordan. Jagoan Chicago Bulls itu waktu SMA tidaklah terpilih masuk tim inti. Tapi kemudian dalam hidup justru jadi lebih sukses dari hampir semua yang lain.

Itu karena dia terus dapat kesempatan. Dan cerita Michael Jordan ini setiap tahun selalu disampaikan di DBL Camp.

Penulis menyalami Muhammad Adhim, peserta DBL Camp 2019 dari SMAN 16 Surabaya yang memecahkan rekor beep test, Selasa (12/11).

Di Indonesia ini, mencari kesempatan memang tidak mudah. Panggungnya tidak banyak. Bahkan, yang mau bikin panggung juga tidak banyak. Apalagi disuruh bikin panggung bertahun-tahun, tanpa hasil instan.

Tahun ini, 12-16 November 2019 ini, DBL Camp kembali berlangsung. Saya jadi tidak sabar. Ada kejutan apa lagi di sini. Siapa calon superstar Indonesia masa depan.

Bukan hanya superstar bermain basket, tapi superstar dalam kehidupan.

Para peserta DBL Camp 2018 berkumpul di DBL Academy Pakuwon Mall Surabaya.

Seperti cerita Michael Jordan, mungkin yang hebat di DBL Camp adalah mereka yang tidak terpilih masuk All-Star. Karena tidak ada sistem yang sempurna, sehebat apa pun sistem tersebut. Tapi, kami berharap semua mendapatkan manfaat dari program ini, yang bisa berguna untuk banyak orang di kemudian hari.

Salah satu kutipan saya yang terpasang di dinding DBL Academy berbunyi kurang lebih seperti ini:

“Sembilan puluh sembilan persen pemain DBL tidak akan menjadi pemain basket profesional. Tapi, kami berharap 100 persen akan menjadi profesional di berbagai bidang.” (azrul ananda)

Comments (19)

Catatan Rabuan

Simon Mottram Sang Filsuf Jersey

Salah satu yang paling saya kagumi adalah Simon Mottram, founder merek apparel sepeda Rapha yang akhir November ini meng...

DBL Indonesia: Baru Lagi setelah 18 Tahun

Waktu benar-benar berjalan cepat ya. Tidak terasa, perusahaan sports management yang saya prakarsai, DBL Indonesia, suda...

Atletik dari Sekolah

Ketika musim semi, olahraganya Track and Field (Atletik). Saya diikutkan pula di situ. Ikut tes sprint, kalah jauh. Akhi...

Olahraga (Industri) yang Sehat

Olahraga bisa bikin badan kita sehat. Jiwa kita juga kuat. Jadi pengurus olahraga di Indonesia mungkin bisa punya efek b...