Catatan
Rabuan
Azrul
Ananda

 

Ketika pandemi ini berakhir, harapannya sesegera mungkin di tahun 2021, pembinaan sepak bola di Surabaya mendapatkan peluang emas. Peluang untuk menekan tombol reset, menata secara komprehensif piramida pembinaannya, berujung untuk klub sepak bola kebanggaannya. Lebih jauh lagi, berujung untuk Indonesia.

Kesempatan untuk meninggalkan segala permasalahan, kembali ke masa-masa luar biasa dulu. Masa-masa yang saya juga sempat rasakan ketika masih SD. Saya tak akan pernah lupa, ikut latihan klub Indonesia Muda, memakai nomor punggung 17. Nomor pemain favorit saya waktu itu.

Saya juga tak akan lupa, sering diajak Abah saya lihat latihan-latihan, salah satunya sempat ikut "main" di Lapangan Bogowonto, di tengah-tengah anak-anak binaan klub Sasana Bhakti.

Berbagai perselisihan seolah menjadi topik utama dalam sepuluh tahun terakhir. Yang menurut saya sebenarnya sangat bisa diselesaikan dengan mudah, apabila tidak ada pihak-pihak yang seolah terus berupaya mengkomporinya. Dari mana pun itu.

Ketika saya mengambil alih pengelolaan klub kebanggaan Surabaya, prioritas utama pada 2017 itu adalah mengembalikan klub ini ke liga tertinggi. Itu fokus nomor satu, nomor dua, dan nomor tiga. Baru kemudian memastikan fondasinya (kaki komersial dan kaki tim) berdiri tegak. Banyak yang tidak paham maksud saya dulu, tapi sekarang rasanya semakin banyak yang paham.

Tentunya, setelah itu, adalah menata lagi piramida pembinaan sepak bola di Surabaya. Bagaimana membentuk piramid yang baik, dari level paling bawah hingga akhirnya menuju klub kebanggaan, yang kemudian menjadi platform menuju tim nasional dan --mungkin-- dunia internasional.

Pembaca semua, saya dan teman-teman manajemen saya, khususnya Candra Wahyudi, sudah membuat piramida itu pada 2018 lalu. Piramida yang melibatkan SELURUH klub yang ada di Surabaya. Bukan hanya yang tergabung dalam internal klub yang saya kelola. Sekali lagi saya tegaskan: SEMUA klub yang ada di Surabaya.

Tentunya, untuk mewujudkan itu, butuh kolaborasi dengan Pemerintah Kota Surabaya. Bagaimana pun, program seperti itu akan membutuhkan banyak lapangan, serta banyak kerja sama lain yang bisa melibatkan beberapa instansi.

Kalau itu bisa diwujudkan, itu bisa menjadi kompetisi pembinaan terbesar di Indonesia. Terbesar di Asia Tenggara. Semua hanya dalam lingkup satu wilayah kota!

Dan, pengelolaannya akan dilakukan dengan cara khas saya. Efektif, efisien. Tidak menghambur-hamburkan. Fokusnya jelas, memberi panggung sebesar mungkin untuk anak-anak di Surabaya bermain sepak bola. Yang kemudian menjadi ajang untuk terus "naik kelas" hingga menjadi pemain klub yang saya kelola di pucuknya.

Kalau ini bisa dilakukan, akan dengan sangat mudah bisa direplikasikan formatnya untuk cabang-cabang olahraga lain di Surabaya.

Saya dan teman-teman manajemen sudah tiga kali bertemu dengan pihak Pemkot. Sekali di sebuah restoran "netral," sekali di kantor saya, dan sekali di kantor Bappeko. Bahkan, di kantor Bappeko itu, di depan Mas Eri Cahyadi, saya sudah menggambarkan piramida itu. Kami sudah berdiskusi cukup detail bagaimana penerapannya dan efek-efeknya. Termasuk memenuhi harapan Mas Eri mendapatkan jabatan sebagai ketua pembina di program itu.

Sayangnya, setelah itu tidak ada kelanjutannya apa-apa. Segalanya jadi seolah percuma. Hampir dua tahun tidak ada kelanjutannya lagi.

Jangankan berkolaborasi, berkomunikasi dengan Pemkot Surabaya bahkan berlanjut jadi sesuatu yang sulit. Saya pernah bertemu hanya berdua dengan Bu Risma, yang begitu saya cintai dan dulu saya dorong habis-habisan untuk menjadi Wali Kota, dan saya bertanya langsung: "Ibu mau apa. Tolong sampaikan ke saya langsung."

Tidak ada jawabannya. Saya bingung. Banyak orang ikut bingung.

Meski demikian, saya tetap cinta Bu Risma. Bagaimana pun, dia telah membawa kota kebanggaan saya menjadi kota yang indah. Semua orang ada positif dan negatifnya. Tergantung persepsi yang memandangnya. Tapi bagaimana pun, kita tak pernah boleh menjelek-jelekkan Bu Risma. Sampai kapan pun!

Namun, Bu Risma sudah tidak bisa maju lagi jadi wali kota. Kita butuh estafet lagi, ke orang yang bisa membawa kota ini naik kelas lagi. Dan untuk naik ke level yang lebih tinggi itu, meneruskan saja tidak cukup. Kita butuh pemerintah kota yang punya kemampuan berkomunikasi dan berkolaborasi dengan banyak pihak.

Pembinaan sepak bola di Surabaya hanyalah bagian kecil dari itu. Tapi, pembinaan sepak bola di Surabaya bisa menjadi simbol dari itu. Simbol kolaborasi banyak elemen di Surabaya, membangun program dan piramida yang kokoh. Simbol bahwa kota yang maju, yang dibangun bukan hanya infrastrukturnya, tapi juga manusianya.

Pada 9 Desember ini, semoga Surabaya memilih orang yang tegas dan jelas. Saya sudah tahu pilihan saya. Anda mungkin juga sudah tahu pilihan saya. Ini bukan hanya untuk Surabaya kotanya. Ini untuk seluruh warganya! (Azrul Ananda)

Catatan Rabuan

Kebaikan Lucky

Saya tidak ingin sering menulis seperti ini. Tribut untuk seorang sahabat yang baru saja pergi. Tapi ada begitu banyak i...

Liga "Arms Race" Masa Depan

Survival of the fittest. Yang mampu akan tetap mampu. Yang kurang mampu bisa semakin terpuruk. Yang tengah jadi terjepit...

Sepak Bola #localpride

Dalam dua pekan terakhir, saya banyak bertemu dan berdiskusi dengan orang-orang penting dunia olahraga. Mulai dari Menpo...

Bawa Equity ke Liga 1

Nah, sekarang, menyikapi pertanyaan-pertanyaan orang tentang efek klub-klub baru ini di Liga 1. Saya selalu menggunakan...