Dalam dua pekan terakhir, saya banyak bertemu dan berdiskusi dengan orang-orang penting dunia olahraga. Mulai dari Menpora Zainudin Amali, Menteri BUMN Erick Thohir, serta beberapa bos klub sepak bola besar di Indonesia. Termasuk beberapa anak muda yang jadi bos-bos baru di dunia sepak bola kita.
Perbincangan bisa sangat meluas. Dari olahraga secara keseluruhan hingga cabang-cabang khusus, juga soal potensi industri olahraga kita ke depan. Karena pemahaman soal industri olahraga ini masih belum umum, tentu perbincangan itu masih sangat luas dan terlalu panjang untuk dibahas di sini.
Tapi.
Ada satu hal yang selalu saya coba selipkan dalam setiap diskusi. Dan itu berkaitan dengan hashtag yang kemudian menjadi lumayan seru di dunia sepak bola kita: Yaitu #localpride.
Karena ajang sepak bola Piala Menpora sedang berlangsung, banyak sekali para "bos besar" itu menyampaikan pujian untuk Persebaya, yang saya kelola sekarang. Mereka mengaku kagum dengan keberanian klub sebesar Persebaya menurunkan tim full local di ajang pramusim ini.
Bukan hanya itu, mayoritas pemainnya juga muda-muda.
Lebih dari itu, performa mereka luar biasa di lapangan. Sangat membanggakan banyak pihak, khususnya suporter Persebaya sendiri.
Ketika kesempatan untuk bicara #localpride ini muncul, saya langsung menyampaikan pentingnya keberanian seperti itu. Dan Persebaya tidak sendirian. PSIS Semarang juga mengesankan. Plus beberapa klub lain.
Ya, aspek finansial merupakan salah satu dasar alasan munculnya "keberanian" ini. Kita tidak boleh munafik. Di saat pandemi masih berlangsung, di saat situasi ekonomi sedang tidak baik, dan di saat kepastian liga masih belum menentu, sebuah klub --yang notabene perusahaan-- harus membuat keputusan yang responsible.
Kami di Persebaya sudah merasa seperti kena "prank" saat liga dibatalkan di akhir 2020 lalu. Kami sudah siap habis-habisan full team, tapi akhirnya batal. Selama belum ada kepastian, tidak boleh aneh-aneh. Masa depan jangka panjang jauh lebih penting daripada ambisi sesaat. Apalagi pramusim.
Tapi saya juga menegaskan. Di tengah kesulitan tetap akan ada kesempatan. Saya berdiskusi dengan Candra Wahyudi, direktur operasional sekaligus manager tim, yang kemudian melanjutkannya bersama barisan pelatih, bagaimana menyikapi pramusim ini.
Dari diskusi, kita menemukan kesempatan emas itu. Dalam beberapa tahun terakhir, Persebaya termasuk melakukan investasi terbesar untuk pembinaan dan pemain muda. Tentu ini melanjutkan tradisi panjang Persebaya, yang dikenal sebagai klub penghasil bintang.
Kami tahu kami punya banyak pemain muda yang punya potensi dahsyat. Mereka telah membantu kami jadi juara di ajang junior. Beberapa juga sudah pernah kami kirimkan ke Australia untuk training camp. Hanya saja mereka sulit mendapatkan kesempatan untuk unjuk gigi. Kalau kita turunkan tim seperti di liga, maka mereka akan kembali jadi penonton.
Ya, kita bisa menjajal mereka di ajang-ajang uji coba. Tapi atmosfernya akan sangat beda dengan bertanding di ajang yang kompetitif. Mereka harus dilempar ke tengah bara api!
Bukan hanya untuk menguji mereka, tapi juga menguji segala program yang sudah kami lakukan dalam beberapa tahun terakhir. Kalau mereka tampil baik, tandanya kami di jalan yang benar dan kami punya masa depan cerah. Kalau tidak, maka kami harus mengevaluasi lagi segala program yang kami punya.
Alhamdulillah, saya yakin banyak yang sepakat kalau performa mereka lebih dari memuaskan. Kalah mereka bukanlah kalah kemampuan atau kemauan. Kalahnya adalah hal-hal di luar kontrol, plus akibat kurangnya pengalaman dan kematangan. Pengalaman di Piala Menpora akan punya dampak panjang buat mereka semua, juga untuk kami sebagai pengelola.
Kami punya fondasi baik untuk liga. Kami punya pemahaman lebih jelas harus menambah di mana, menambah yang seperti apa. Di saat tim-tim lain timnya sudah terbentuk dan mungkin sudah maksimal, Persebaya --dan klub yang menerapkan strategi serupa-- masih punya banyak opsi. Ibarat main kartu, masih banyak yang belum ditunjukkan.
Lebih jauh lagi, kami punya landasan baik untuk tiga hingga lima tahun ke depan. Fokus pembinaan bisa dipadatkan untuk posisi-posisi tertentu.
Ini semua bisa dibicarakan terbuka. Toh kartunya tetap tidak akan dibuka!
Dan yang paling utama, dan ini poin utama yang saya sampaikan kepada bos-bos besar itu: Ini akan punya dampak luar biasa untuk tim nasional Indonesia ke depan.
Saya bahkan minta tolong kepada Pak Menpora. Kalau ke depan turnamen ini diadakan lagi, saya minta tolong dibuatkan aturan khusus supaya pesertanya semua harus menurunkan full pemain lokal.
Kami tidak mungkin melakukan itu di liga. Karena itu liga profesional, yang tentu ada pemain asingnya untuk kepentingan performa dan komersial.
Indonesia butuh turnamen atau kompetisi yang full lokal. Kalau perlu dilarang menurunkan pemain naturalisasi. Supaya pemain Indonesia bisa unjuk gigi di semua posisi.
Kalau di liga, dengan empat pemain asing, pemain-pemain lokal kebanyakan hanya jadi "pemeran pembantu." Striker-nya asing. Playmaker-nya asing. Pilar belakangnya asing.
Saya kira, tidak harus jadi pakar sepak bola untuk melihat apa saja kekurangan dan kebutuhan tim nasional kita sekarang!
Kalau ada turnamen atau kompetisi yang full lokal, minimal ada ajang untuk melihat dan menilai potensi pemain-pemain lokal kita di segala posisi. Yang striker bisa lebih terasah, tidak lagi banyak menonton di bangku cadangan. Dalam olahraga apa pun, jam terbang sangat penting bukan?
Semoga saja usulan ini kelak bisa diwujudkan. Karena menurut saya ini termasuk sesuatu yang tidak sulit, bahkan praktis, untuk diterapkan. Saya paham, kadang yang sederhana itu justru lebih sulit untuk dilakukan. Apa pun alasannya.
Tapi sekali lagi, saya berharap ini bisa terwujud. Toh ujung-ujungnya untuk sepak bola Indonesia, khususnya tim nasional Indonesia, bukan? (azrul ananda)