What goes up, must come down. Apa yang naik, suatu saat akan turun. Roda berputar. Kiasan kuno yang suka tidak suka biasanya terjadi. Selama pandemi, banyak hal yang online meroket. Di saat pandemi menuju akhir, banyak hal online mulai melorot. Atau: "Terkoreksi."
Beberapa hari lalu, begitu banyak orang terkejut. Bahkan ada yang sampai terjungkal. Khususnya yang aktif mengikuti perkembangan bisnis media dan entertainment, atau bahkan ikut terjun di dunia tersebut. Begitu mengetahui kalau Netflix menemui jurang dan terpeleset jatuh.
Pada kuartal pertama 2022, streaming service tersebut mengalami penurunan hingga 200 ribu pelanggan. Padahal, sebelumnya, mereka memproyeksikan bakal mendapatkan penambahan 2,5 juta pelanggan baru pada kuartal tersebut.
Yang lebih menyesakkan: Untuk kuartal kedua 2022, jumlah pelanggannya akan melorot lebih drastis lagi. Bakal kehilangan 2 juta lagi pelanggan.
Ini adalah kali pertama dalam satu dekade Netflix mengalami minus dalam jumlah pelanggan. Apalagi menyusul performa meroket mereka dalam dua tahun terakhir, saat dunia tersandera pandemi.
Saham Netflix pun anjlok. Dalam sehari turun hingga 26 persen. Bahkan kemudian mencapai titik terburuk sejak 2018.
Ya, Netflix masih punya lebih dari 220 juta pelanggan di seluruh dunia. Tapi banyak yang memprediksi kalau ini adalah awal dari pusaran turun Netflix. Bukan lagi sesuatu yang hebat di puncak, melainkan akan mulai harus serius memikirkan lingkungan persaingan, bahkan berperang dengan diri sendiri untuk menjaga performa (mulai mengirit pengeluaran, memikirkan hal-hal lain yang kalau tidak hati-hati bisa menahan pertumbuhan, bahkan membuat performa terus turun).
Ada sejumlah alasan disampaikan. Situasi ekonomi yang kurang baik. Persaingan yang semakin ketat dengan munculnya streaming service lain dari HBO, Disney, dan lain-lain. Plus, invasi Rusia ke Ukraina. Dengan menarik diri dari Rusia, Netflix langsung kehilangan 700 ribu pelanggan di negeri Putin.
Plus, untuk kali pertama Netflix menyalahkan pelanggannya. Mereka menyebut kebiasaan berbagi password membuat Netflix kehilangan potensi pelanggan baru dan pemasukan. Ironis, mengingat beberapa tahun lalu Netflix justru mengkampanyekan berbagi password ini untuk menambah jumlah pemirsanya.
Namun, mengikuti analisa-analisa dari dunia sekitar, masih ada alasan lain kenapa Netflix melorot tiba-tiba.
Soal penurunan drastis, Rusia tidak boleh disalahkan begitu saja. Karena jumlah pelanggan Netflix di Amerika dan Kanada sendiri juga turun 600 ribu!
Dan di atas itu semua, ada satu faktor besar yang membuat Netflix, investor, dan industri tersebut harus hati-hati: Yaitu berangsur berakhirnya pandemi. Dunia perlahan kembali sibuk offline.
Bobby Allyn dari NPR menjelaskan: "Ada begitu banyak hal terjadi. Pertama, (Netflix) sedang menyesuaikan diri dengan akhir dari booming masa pandemi yang melonjakkan mereka secara drastis. Sekarang, ada begitu banyak hal yang menyibukkan kita sehingga tidak bisa lagi nonton TV secara binge (nonstop)."
Dia menambahkan, sementara orang semakin sibuk dengan dunia nyata, orang-orang itu juga diberi pilihan lebih banyak lagi di dunia streaming. Jadi, dalam masa waktu menonton TV yang lebih sedikit, pilihan tontonannya jadi jauh lebih banyak.
Catatan tambahan: Pilihan-pilihan yang dulu ada di Netflix, sekarang sudah pindah --atau tepatnya pulang kampung-- ke saluran pemilik aslinya. Contoh, film-film Disney sekarang hijrah ke Disney+. Film-film superhero DC kini jadi milik HBO Max (atau di sini HBO Go).
Ini memberi tantangan bagi Netflix untuk membuat konten yang lebih kuat lagi. Bayangkan betapa sulitnya harus selalu punya konten sekuat Squid Games setiap bulan! Di saat pengeluaran harus semakin dikontrol, makin lama makin tidak bisa jorjoran membayar bintang atau membeli konten.
Ada pula pengamat yang menyebut tidak adanya konten olahraga di Netflix sebagai faktor penghambat lain. Sementara para pesaingnya, yang memiliki jaringan jauh lebih kuat, banyak invest ke hak siar olahraga. Disney misalnya. Menurut Washington Post, tahun ini berencana mengeluarkan dana USD 33 miliar untuk belanja konten. Namun, banyak dari jumlah itu disiapkan untuk membeli hak siar olahraga (untuk grupnya yang bermain di arena itu, seperti ESPN).
Bicara soal olahraga, bahwa Disney siap belanja besar di situ, bisa memperkuat argumen bahwa dunia offline akan kembali seperti dulu. Atau bisa lebih kuat lagi.
Sudah bukan rahasia, dunia olahraga di Amerika dan Eropa praktis sudah kembali normal. Dan makin melejit. Penonton semakin semangat ke stadion. Semoga ini juga akan terjadi di belahan dunia lain, termasuk Indonesia.
Washington Post menegaskan: Streaming services sekarang mulai kembali bersaing dengan dunia nyata.
Membaca segala perkembangan ini, yang biasanya kemudian akan terjadi serupa di Indonesia, saya jadi berkaca ke keluarga sendiri. Saat pandemi, rumah saya berhenti langganan TV kabel. Kemudian langganan banyak streaming. Mulai Netflix, Disney+ Hotstar, HBO GO, Amazon Prime, plus saluran-saluran spesifik olahraga seperti NFL GamePass, NBA, GCN (sepeda), dan tentu saja bayar tambahan di Vidio untuk nonton sepak bola Indonesia (dan Formula 1). Oh ya, juga premium YouTube supaya tidak "terhadang" iklan-iklan.
Di awal pandemi, karena semua selalu di rumah, tentu saja jam tontonan jadi tinggi sekali. Bahkan anak-anak saya terus terang sekolah online sambil YouTube menyala di TV. Kalau disuruh matikan, tidak lama akan dinyalakan lagi. Kadang, laptop sedang menyala untuk sekolah, TV menyala YouTube, tapi anaknya tidur pulas di sebelah laptop (dan di depan TV).
Belakangan, anak-anak saya sudah mulai sekolah offline. Istri saya makin sibuk. Saya juga makin banyak lagi aktivitas di luar, bahkan mulai intensif lagi traveling. Waktu menonton makin sedikit, kembali seperti dulu lagi. Sekarang rebutan dengan istri saya saat malam mau tidur. Dia pengin nonton hal-hal berbau Korea, saya pengin nonton sitkom atau cuplikan olahraga.
Tidak lama lagi, harus ada saluran yang mengalah di rumah saya, karena pada akhirnya tidak tertonton sama sekali.
Kemudian, bicara soal olahraga dan dunia nyata, perusahaan saya yang berkutat di dunia olahraga beneran (bukan online) ini juga mulai merasakan gairah baru yang cukup kuat.
Di DBL misalnya. Liga pelajar ini sepertinya akan instan kembali heboh penontonnya seperti ketika sebelum pandemi. Ketika lebih dari 1,5 juta penonton meramaikan gedung pertandingan di 30 kota di Indonesia. Antusiasme peserta (dan para pendukungnya) sudah kami rasakan dari sekarang, saat menyiapkan seri 2022.
Penonton memenuhi DBL Arena saat pembukaan Honda DBL 2019 Seri Surabaya.
Padahal, selama menyelenggarakan Honda DBL di tengah pandemi, penonton streaming online-nya terbilang dahsyat untuk liga SMA. Pertandingan di Nusa Tenggara Barat saja per game-nya bisa mendapatkan 10 ribu view. Final seri Jawa Timur bahkan mencapai 126 ribu view. Itu pertandingan SMA!
Sepak bola, saya kira, seharusnya juga kembali ramai seperti dulu di stadion. Tinggal bagaimana manajemen liganya saja.
Sekarang saya belum punya datanya. Seharusnya, kembalinya penonton offline yang heboh ini disokong oleh viewer online yang kuat pula. Kalau dua-duanya tetap menggila, berarti kami akan menuai sesuatu yang superpositif ketika keluar dari pandemi.
Walau kita juga harus siap, bila kenyataannya nanti offline akan menggusur atau menyurutkan online.
Dan itu berarti semua harus siap. Yaitu semua hal yang berbau online, yang meroket dan mendapatkan kesuksesan mendadak selama pandemi, harus siap kalau ditinggalkan atau diganggu dunianya oleh dunia offline.
Harus siap menerima kenyataan kalau dunia kembali nyata.(azrul ananda)