Catatan
Rabuan
Azrul
Ananda

Situasi sudah bisa dibilang benar-benar sulit kalau orang mulai tidak mampu membeli makanan. Inikah yang sedang terjadi di Amerika?

Bertahun-tahun lalu, saya berdebat keras dengan Abah sendiri. Dia mengkritisi kesukaan saya makan fast food. Apalagi ketika di Amerika. Tapi saya sampaikan ke beliau, kalau hidup saya dulu diselamatkan oleh fast food. Bahkan, fast food di Amerika itu termasuk bentuk ketahanan pangan.

Jangan samakan fast food di Indonesia dengan di negeri asalnya. Kalau di sini, makanan seperti itu sudah termasuk lifestyle. Kalau di Amerika, makan di fast food itu seperti makan di warteg. Tidak ada lagi yang lebih murah dan cepat dan praktis. Di sana bukan lifestyle. Di sana kebutuhan hidup untuk makanan murah. Seperti warteg dan warung-warung di sini.

Saya beri contoh waktu kuliah dulu, waktu krisis moneter akhir 1990-an. Dollar Amerika ke Rupiah melonjak dari Rp 3.200 ke Rp 17 ribu dalam waktu sekejap. Adik saya harus menyelesaikan SMA-nya lebih cepat, pulang ke Indonesia. Saya masih tanggung, kurang dua tahun lulus kuliah.

Impian masuk universitas bergengsi saya kubur. Walau diterima, tetap kemahalan. Saya masuk universitas "negeri" yang jauh lebih terjangkau.

Ini belum soal biaya hidup dan makan.

Sebelum itu, tinggal di apartemen sendiri bukan masalah. Biaya sekitar USD 700 per bulan untuk berdua bersama adik. Setelah krismon dan adik pulang, saya bersama tiga teman Indonesia lain patungan sewa tempat tinggal. Biaya turun jadi USD 200-an per bulan.

Kemudian, saya dan teman-teman yang bertahan di sana juga mulai bekerja. Ada yang jadi pengantar pizza, ada yang bekerja di restoran chinese food, sedangkan saya bekerja di kafetaria kampus. Untuk hemat biaya makan, kami tiap malam bergantian bawakan makanan dari tempat kerja masing-masing. Sebisa mungkin tidak beli. Walau membawa pulang makanan dari tempat kerja tidak sepenuhnya diperbolehkan hehehehe...

Makan di restoran, walau sederhana, sudah sangat dibatasi. Waktu itu, 1997-1999, makan di restoran Asia sedikitnya USD 8-10 per orang. Kalau mau yang murah, walau belum tentu enak, minimal USD 6-7 per orang. Belum tip, yang waktu itu masih 10-15 persen dari total ongkos makanan.

Paling murah, bagi kami, adalah fast food. Di kampus ada Burger King, yang selalu punya "dollar menu". Semua di pilihan hanya satu dollaran. Baik itu burger kecil, ayam, atau yang lain. Banyak yang lain juga punya opsi dollar menu.

Plus, kami memaksimalkan semua peluang promo. McDonald's jagonya dalam hal promo.

Setiap Rabu, ada 19 sen beef burger. Kalau Minggu, ada 29 sen cheese burger. Ya, satu burger hanya 19 atau 29 sen. Setiap transaksi maksimal lima porsi. Jadilah kami serumah gantian antre. Lumayan, bisa bawa pulang 15-20 beef atau cheese burger setiap promo. Kami simpan di kulkas, jadi makanan kami seharian itu (atau sampai besoknya). Kalau mau makan tinggal dipanasi di microwave.

Gaji saya bekerja di kafetaria kampus waktu itu USD 5.75 per jam. Antara 20-30 jam seminggu (dibatasi untuk pelajar asing). Jadi, pendapatan sebulan saya maksimal tak sampai USD 600. Tapi itu sudah lumayan banyak mengurangi beban kiriman orang tua dari Indonesia (yang waktu itu belum punya terlalu banyak uang).

Kalau lagi senang, ya beli Big Mac Meal. Waktu itu hanya USD 3.22 dapat satu Big Mac, satu kentang medium, dan minum free refill.

Tidak ada yang lebih murah dari fast food. Hanya masak di rumah mungkin lebih murah. Namun, kami berempat cowok semua, dan apa pun yang kami masak pasti lebih enak makan di luar. Atau membawa makanan dari tempat kerja.

Bayangkan kalau tidak ada fast food. Ketahanan pangan orang Amerika pasti sudah berantakan. Dalam konteks ini, jangan gunakan argumen "fast food itu tidak sehat". Karena untuk ketahanan pangan, kesehatan bukanlah yang utama. Affordability atau keterjangkauan harga adalah yang utama.

Nah, ketahanan pangan ini sekarang sedang diuji di Amerika. Sejak akhir 2023 lalu, mulai muncul banyak keluhan soal biaya makan di sana. Mulai soal tip yang mulai berlebihan (dipaksa sampai 20 persen). Dan sekarang mulai merambah ke harga makanannya langsung.

Banyak sekali berita atau kabar di sosmed yang meramaikan soal harga fast food ini. Bagaimana di beberapa tempat harga Big Mac Meal bisa mendekati USD 20. Bagaimana makan di McDonald's sekarang dengan mudah menembus USD 10 per orang.

Tentu ini terkait inflasi yang terjadi setelah pandemi. Semua biaya naik. Plus kebijakan pemerintahan negara bagian tertentu yang "populis", memaksa melonjakkan upah minimum pekerja fast food (California). Beberapa jaringan pizza terpaksa mem-PHK massal pekerja dan sopir delivery-nya. Biaya makanannya pun otomatis naik.

Memasak di rumah memang jadi opsi tak terelakkan. Itu yang termurah. Menurut Bureau of Labor Statistics, biaya makan di rumah hanya naik 1,3 persen antara Desember 2022 dengan Desember 2023. Sedangkan harga makanan di luar rumah naik rata-rata 5,2 persen di periode yang sama.

Tapi harus diingat, orang di sana tidak seperti orang di sini. Mereka tidak punya waktu luang sebanyak di sini. Setiap jam yang mereka gunakan untuk masak di rumah bisa "memakan" jam kerja yang bisa menghasilkan uang. Apalagi di tengah situasi "sulit" ini.

Gara-gara kesulitan beli makanan ini pula, penjualan sejumlah merek fast food mulai tertekan. Turun atau meleset dari target.

Menurut CEO McDonald's Chris Kempczinski, kepada para investor, sekarang orang Amerika yang berpenghasilan di bawah USD 45 ribu setahun sudah memangkas pengeluaran mereka untuk makan di luar.

Jadi, pada 2024 ini, McDonald's di Amerika mulai memikirkan lagi bagaimana caranya supaya makanan mereka kembali jadi lebih terjangkau. Kembali berperan sebagai ketahanan pangan.

Di tahun pemilihan presiden Amerika 2024 ini, sulit dipercaya salah satu isu di sana adalah ketahanan pangan... (azrul ananda)

Comments (14)

Catatan Rabuan

New Year Asyik Nggak Ngapa-Ngapain

Liburan pergantian tahun 2019 ke 2020 ini memang kami --saya dan keluarga-- niati untuk tidak ngapa-ngapain. Mencari tem...

Paspor Biologis

Saking sebalnya lihat berita, buat saya berita terbaik pekan ini adalah dibuka kembalinya Shanghai Disneyland di Tiongko...

Rasisme Itu Senyap

Rupanya orang capek juga bicara soal virus. Kemudian bicara soal kerusuhan. Kemudian menyinggung soal rasisme. Ada yang...

First Lady yang Lucu

Amerika akan segera punya first lady yang bukan hanya seorang guru, tapi juga seseorang yang lucu!